Karakteristik Lahan Pascatambang Emas |
Pertambangan emas adalah serangkaian proses pengerukan dan pengambilan biji
emas yang terkandung dalam tanah. Masalah utama yang timbul pada wilayah bekas
tambang adalah perubahan lingkungan seperti kerusakan ekosistem hutan, tingginya sedimentasi
dan polusi aliran sungai serta kerusakan struktur tanah (Funoh, 2014). Hal tersebut menjadikan lahan pascapenambangan
emas sebagian besar tidak produktif, karena didominasi tanah berpasir, miskin
hara, kemasaman tanah rata-rata pH 5 dan sebagian lahan mengandung merkuri
rata-rata 2,4 hingga 4,17 ppm (Neneng et
al. 2012). Selain itu komposisi fisik tanah di areal pascapenambangan emas
didominasi rata-rata 97% pasir, 2% debu, dan 1% liat. Kadar Hg tanah rata-rata
2,44 ppm, kandungan bahan organik tanah sangat rendah < 20%. Jumlah vegetasi
sangat sedikit, hanya ada beberapa jenis yang dapat tumbuh pascapenambangan
emas misalnya jenis Melastoma sp., Cyperus sp., Allium sp., Gleichinia
sp., Nephentes sp., dan Lycopodium sp. (Neneng et al. 2012).
Penambangan emas selain meninggalkan tanah bekas galian juga meninggalkan
hasil olahan tanah beruapa tilling dengan karakter yang ekstrim (Setyaningsih,
2017). Selain itu, penambangan emas yang dilakukan dengan cara penambangan permukaan
menghasilkan deforestasi (58%), hilangnya lahan pertanian (45%) dalam konsesi
pertambangan dan terjadinya erosi yang tinggi (Schueler et al. 2011). Perubahan
fungsi lahan yang disebabkan oleh aktivitas penambangan emas, menyebabkan
menurunnya kemampuan lahan pasca penambangan, baik secara fisik, kimia, dan
biologis (Joni dan Tanduh, 2012). Hasil
Penelitian di penambangan emas Bojong Pari menunjukkan kandungan unsur hara N,
C, P, K dan KTK tergolong sangat rendah serta deposit hara dalam bentuk
kekayaan serasah menurun secara drastis (Juhaeti dan Naiola, 1997).
Sifat fisik dan kimia dari tanah pascatambang emas yang merupakan faktor
pembatas pertumbuhan tanaman berupa rendahnya daya pegang air, porositas tinggi,
kesuburan tanah yang rendah seperti tanah masam, kapasitas tukar kation tanah
dan kandungan basa-basa (K, Ca, Mg dan Na) yang rendah, Aluminium (Al) yang
terlarut pada tanah sangat tinggi dan tingginya kandungan logam berat serta
senyawa beracun yang dapat meracuni makhluk hidup (Oktabriana
dan Syofiani, 2017). Adapaun faktor pembatas secara biologi berupa rendahnya
keberadaan mikroba tanah yang dibutuhkan oleh tanaman (Suharno et al. 2014)
Limbah sisa penambangan (Tailing) emas merupakan segala
sesuatu yang tertinggal, tersisa atau berperan sebagai kontaminan dari hasil
proses tambang yang sudah diambil bahan-bahan bernilai ekonomi tinggi berupa
emasnya dan mempunyai sifat-sifat kimia yang kurang baik apabila dikembalikan
ke alam sebagai media tanam (Suwardi dan Suzana K. K., 2008). Tailing emas umumnya mengandung mineral inert dan logam
berat seperti Arsen (As), Kadmium (Cd), Timbal (pb), Merkuri (Hg) dan Sianida
(Cn). Logam-logam yang berada dalam tailing emas sebagian adalah logam berat
yang masuk dalam kategori ilmiah B3 yaitu bahan berbahaya dan beracun
(Riogilang dan Masloman, 2009). Tailing dari aktivitas penambangan yang
mengandung logam berat dapat diatasi dengan fitoremediasi, perbaikan lahan dan penambahan
unsur hara seperti pemberian pupuk organik dan anorgani, asam humat dan
pengapuran (Mansur, 2010) serta input FMA yang dapat mendukung pertumbuhan
tanaman (Husna, 2010).
Daftar Pustaka
Funoh, K.N. 2014.
The impacts of artisanal gold mining on local livelihoods and the environment
in the forested areas of Cameroon. Working Paper 150. Bogor, Indonesia: CIFOR.
Husna.
2010. Pertumbuhan Bibit Kayu Kuku [Pericopsis
mooniana (Thw.)Thw.] melalui
Aplikasi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) dan Ampas Sagu pada Media Tanah Bekas
Tambang Nikel [tesis]. Pascasarjanaa Unhalu. Kendari.
Joni, H. dan Y. Tanduh. 2012.
Perbaikann keasaman tanah dan koloni
mikroorganisme akibat bioremediasi dan fitoremediasi pada lahan berpasir
pasca penambangan emas. Fakultas Pertanian, Universitas Palangka Raya.
Juhaeti, T dan B.P.
Naiola. 1997. Pengaruh penambangan emas tradisional terhadap status hara lahan
hutan primer Bojong Pari, Sukabumi. Berita Biologi. 4(I):21-25.
Mansur, I.
2010. Teknik silvikultur untuk reklamasi lahan bekas tambang. SEAMEO BIOTROP.
Bogor.
Neneng, L., Y
Tanduh dan D Saraswati. 2012. Aplikasi metode reklamasi terpadu untuk
memperbaiki kondisi fisik, kimiawi, dan biologis, pada lahan pasca penambangan
emas di Kalimantan Tengah. Prosiding InSINas. Universitas Palangka Raya.
Oktabriana, G. dan R. Syofiani.
2017. Revegetasi dan reklamasi lahan bekas tambang emas dengan pemberian pupuk
organik in situ terhadap sifat dan produktivitas tanah di Kabupaten Sijunjung.
Laporan Akhir Penelitian Kerjasama Antar Perguruan Tinggi (Pekerti). Sekolah Tinggi
Ilmu Pertanian (Stiper) Sawahlunto Sijunjung. Sijunjung.
Riogilang, H.
dan H. Masloman. 2009. Pemanfaatan limbah
tambang untuk bahan konstruksi bangunan. Ekoton. 9(1): 69-73.
Schueler, V.,
Kuemmerle, T. dan Schroder, H. 2011. Impacts of surface gold mining on land use
systems in western Ghana. AMBIO 40:528–539. DOI 10.1007/s13280-011-0141-9
Setyaningsih, L.
2017. Pemanfaatan Cendawan Mikoriza Arbuskula dan Kompos Aktif Untuk
Meningkatkan Pertumbuhan Semai Mindi (Melia
Azedarach LINN) Pada Media Tailling Tambang Emas Pongkor [tesis].
pascasarjana IPB. Bogor.
Suharno dan R.P.
Sancayaningsih. 2013. Fungi Mikoriza Arbuskula: potensi teknologi
mikorizoremediasi logam berat dalam rehabilitasi lahan tambang. Bioteknologi.
10(1):31–42.
Suwardi dan Suzana K. K., 2008. Penggunaan zeolit sebagai bahan
reklamasi tailing pada tambang emas. Zeolit Indonesia. 7(1):61-69.
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar secara bijak sesuai topik pembahasan