POTENSI CAGAR ALAM
KAKENAUWE
Makalah
Disusun Sebagai Tugas
Dari Dosen Pengantar Ilmu Kehutanan
DISUSUN OLEH:
HERMANSYAH (M1A1
15 046)
ARDIAN RIMBAH
(M1A1 15 014)
KELAS
: KEHUTANAN A
JURUSAN
MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS
KEHUTANAN DAN ILMU LINGKUNGAN
UNIVERSITAS
HALU OLEO
KENDARI
2015
KATA
PENGANTAR
Puji syukur penulis limpahkan
kehadirat Allah SWT, karena atas pertolongannya_Nya, penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Potensi Cagar Alam Kakenauwe” ini tepat
pada waktu yang telah direncanakan. Tak lupa sholawat serta salam Penulis
haturkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat, semoga selalu
dapat menuntun penulis pada ruang dan waktu yang lain.
Dalam penyelesaian makalah ini tidak
jarang penlis menemukan kesulitan-kesulitan. Akan tetapi, berkat motivasi dan
dukungan dari berbagai pihak, kesulitan-kesulitan itu akhirnya dapat diatasi.
Maka dari itu, melalui kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih
sebanyak-banyaknya kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis.
Penulis menyadari selesainya makalah
ini, masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan. Akhirnya penulis berharap agar
malakah ini bermanfaat.
Kendari, 5 Januari 2016
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Sebagai
negara yang terletak di wilayah tropis, tidak heran jika Indonesia memiliki
hutan yang begitu luas dengan berbagai macam tipe ekosistem. Bahkan beberapa
diantaranya sudah dijadikan Cagar Alam. Ada begitu banyak Cagar Alam di
Indonesia yang menyajikan keindahan alam yang akan membuat Anda berdecak kagum.
Salah satunya adalah Cagar Alam Kakenauwe yang terletak di pulau Buton.
Pulau
Buton merupakan salah satu pulau dari deretan pulau-pulau kecil di Sulawesi.
Pulau ini terletak di wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara, mempunyai tiga
kawasan koservasi yaitu Suaka Margasatwa Buton Utara yang terletak di kabupaten
Muna, Suaka Margasatwa Lambusango dan Cagar Alam Kakenauwe yang terletak di
kabupaten Buton. Kawasan Cagar Alam Kakenauwe merupakan cagar alam terluas dari
tiga cagar alam lainnya di propinsi Sulawesi Tenggara. Cagar alam Kakenauwe
dinamakan demikian karena terletak di kaki sungai (Kakena=kakinya; uwe =
sungai) yang mengalir melalui kawasan ini yaitu sungai Punakuno. Cagar Alam
Kakenauwe di Pulau Buton merupakan bagian dari kawasan konservasi pulau-pulau
kecil di sekitar Sulawesi. kawasan konservasi ini cukup menarik perhatian
khususnya bagi para peneliti maupun wisatawan asing. Ketertarikan tersebut
antara lain disebabkan karena kawasan konservasi ini mempunyai beberapa jenis
biota yang unik. Keunikan biota tersebut disebabkan karena kawasan konservasi
ini merupakan daerah “intermediate” bertemunya flora dan fauna dari kawasan
barat dan timur Sulawesi. Kawasan kosnervasi ini termasuk dalam tipe ekosistem
hutan dataran rendah.
Uraian di atas hanyalah gambaran
kecil tentang Cagar Alam Kakenauwe. Oleh karena itu, untuk lebih mengenal dan
mengetahui tentang cagar alam kakenauwe maka penulis menyusun makalah yang
berjudul “POTENSI CAGAR ALAM KAKENAUWE”.
1.2.
Rumusan
Masalah
Masalah yang akan di bahas dalam
makalah ini adalah:
1.
Apakah pengertian, karakteristik,
tujuan dan manfaat serta fungsi Cagar Alam ?
2.
Bagaimanakah luas dan letak
geografis Cagar Alam Kakenauwe ?
3.
Bagaimanakah potensi flora dan fauna
di Cagar Alam Kakenauwe ?
4.
Apakah permasalahan yang ada di
Cagar Alam Kakenauwe ?
1.3. Tujuan
Tujuan diadakannya penelitian ini
adalah:
1.
Mengetahui pengertian,
karakteristik, tujuan dan manfaat serta fungsi Cagar Alam.
2.
Mengetahui luas dan letak geografis
Cagar Alam Kakenauwe.
3.
Mengetahui potensi flora dan fauna
pada Cagar Alam Kakenauwe.
4.
Mengetahui permasalahan yang ada
pada Cagar Alam Kakenauwe.
1.4. Manfaat
Manfaat yang diperoleh dari
pembuatan makalah ini adalah:
1.
Menambah wawasan atau pengalaman dan
pengetahuan mengenai Cagar Alam Kakenauwe.
2.
Menyelesaikan tugas yang diberikan
oleh dosen Pengantar Ilmu Kehutanan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Cagar Alam adalah Kawasan Suaka Alam
yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan/keunikan jenis tumbuhan dan/atau
keanekaragaman tumbuhan beserta gejala alam dan ekosistemnya yang memerlukan
upaya perlindungan dan pelestarian agar keberadaan dan perkembangannya dapat
berlangsung secara alami. Kriteria suatu wilayah dapat ditunjuk dan ditetapkan
sebagai kawasan cagar alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a
meliputi; memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan dan/atau satwa liar yang tergabung
dalam suatu tipe ekosistem, mempunyai kondisi alam, baik tumbuhan dan/atau
satwa liar yang secara fisik masih asli dan belum terganggu, terdapat komunitas
tumbuhan dan/atau satwa beserta ekosistemnya yang langka dan/atau
keberadaaannya terancam punah, memiliki formasi biota tertentu dan/atau
unit-unit penyusunnya, mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu yang dapat
menunjang pengelolaan secara efektif dan menjamin berlangsungnya proses
ekologis secara alami, mempunyai ciri khas potensi dan dapat merupakan contoh
ekosistem yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi, (Peraturan Pemerintah
No. 28 Tahun 2011).
Hutan Lambusango (± 65,000 Ha) terdiri
atas dua kawasan konservasi (±29,320 ha), yaitu Cagar Alam Kakenauwe (± 810 ha)
dan Suaka Margasatwa Lambusango (± 28,510 ha) yang dikelola oleh BKSDA Sultra
dan ± 35,000 ha sisanya merupakan Hutan Lindung dan Hutan Produksi yang
dikelola oleh Pemda Kabupaten Buton, (Departemen Kehutanan).
kawasan CA Kakenauwe terletak di P.
Buton tepatnya di Sisi barat teluk lawele. secatra administratif pemerintahan
termasuk wilayah Desa Kakenauwe dan desa waoleona. kecamatan kapontori,
kabupaten buton. dengan luas 810 Ha. secara geografis, kawasan CA Kakenauwe
terletak antara 05’08’LS - 05’12’LS dan 122’53’ BT - 122’57’BT. batas-batas
wilayah CA Kakenauwe adalah sebagai berikut; sebelah utara berbatasan dengan
sungai kakenauwe, sebelah selatan berbatsan dengan desa kakenauwe, sebelah
Barat berbataasan dengan hutan produksi, sebelah timur berbatasan dnegan Desa
Waolena, (BKSDA Prov.Sulawesi Tenggara).
Tipe iklim CA
Kakenauwe termasuk tipe C dengan curah hujan rata-rata tahunan sebesar 1.980
mm, kelembaban 80% dan suhu berkisar antara 20° hingga 34°C. Musim hujan
biasanya jatuh pada bulan Januari – Juni, secara umum kawasan ini dipengaruhi
oleh angin laut yang bertiup cukup kencang setiap hari karena letaknya yang
berbatasan langsung dengan perairan Teluk Lawele, (Schmidt dan Ferguson).
Fauna Identitas Daerah Sulawesi
Tenggara adalah Anoa (Bubalus
depressicornis (H.Smith) yang termasuk suku Bovidae. Binatang ini mirip kerbau
tetapi pendek serta lebih kecil ukurannya, kira-kira sebesar kambing. Panjang
badan kurang lebih 175 cm, dengan tinggi 80 cm, dan beratnya sekitar 200 kg.
Anoa binatang berkuku genap, di setiap kakinya terdapat 4 buah kuku, dua kuku
di belakang lebih kecil dan tidak memecah tanah. Rambut badannya halus, warna
bervariasi dari coklat hingga coklat tua kehitam-hitaman. Umumnya yang jantan
berwarna lebih gelap dari pada betina. Anak anoa mempunyai bulu halus yang
tebal berwarna coklat keemasan. Kepala anoa bertanduk pendek 2 buah, berbentuk
lurus ke belakang serta meruncing dan agak memipih serta berlobang di tengah.
Tanduk ini merupakan senjata untuk mempertahankan diri. Satwa ini bisa menjadi
berbahaya apabila terdesak. Habitat anoa adalah di hutan dataran rendah dan
hutan berawa-rawa. Binatang ini suka berkubang di lumpur dan merendam diri di
air waktu pagi dan sore hari. Makanannya berupa rumput-rumputan, pucuk tumbuhan
lain. Anoa merupakan satwa endemic Sulawesi dan telah dilindungi berdasarkan
Ordonansi Perlindungan Binatang Liar 1931 No.266, (Depdagri, 1995).
BAB III
PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian,
Karakteristik, Tujuan Dan Manfaat Serta Fungsi Cagar Alam
2.1.1.
Pengertian cagar alam
Cagar
alam adalah kawasan suaka alam yang memiliki kekhasan akan tumbuhan dan
ekosistem tertentu yang harus dilindung atau dilestarikan dan perkembangannya
berlangsung secara alami sesuai dengan kondisi aslinya, flora dan fauna yang
terdapat di dalamnya dapat digunakan untuk keperluan di masa sekarang dan yang
akan datang. Cagar alam memiliki nilai yang sangat penting untuk pengembangan
penelitian, pendidikan, ilmu pengetahuan
dan kepentingan lainnya.
2.1.2.
Karakteristik
Cagar Alam
Adapun karakteristik yang menjadi
penentuan kawasan cagar alam diantaranya seperti sebagaimana di bawah ini:
·
Mempunyai keanekaragaman jenis
tumbuh-tumbuhan dan ekosistem.
·
Mewakili formasi dari biota tertentu
dan unit penyusunnya.
·
Mempunyai kondisi alam yang alami
dan belum terganggu oleh campur tangan manusia.
·
Mempunyai komunitas tumbuh-tumbuhan
dan ekosistem yang langka ataupun keberadaanya hampir punah.
·
Mempunyai ciri khas potensi sehingga
menjadi contoh bagi ekosistem yang akan keberadaannya membutuhkan upaya
pelestarian dan perlindungan.
·
Luasnya yang cukup dalam bentuk
tertentu, yang nantinya untuk mendukung pengelolaan dan menjamin kelangsungan
ekologis secara alami.
2.1.3.
Tujuan, Manfaat Dan Fungsi Cagar Alam
Tujuan cagar
alam yaitu untuk melindungi ekosistem yang terdapat di wilayah cagar alam agar
tetap lestari dan tidak punah.
Manfaat dan
fungsi cagar alam diantaranya adalah sebagai berikut:
·
Untuk melestarikan flora dan fauna.
·
Untuk melindungi flora dan fauna
dari kepunahan.
·
Untuk menjaga kesuburan tanah.
·
Dapat dijadikan sebagai tempat
wisata.
·
Untuk mengatur tataan air.
·
Cagar alam dapat menambah devisa
negara.
·
Dapat menjadi tempat praktek belajar
atau praktek di lapangan.
·
Dapat menjadi tempat penelitian.
·
Dan lain-lain
2.2.
Luas
dan Letak Geografis Cagar Alam Kakenauwe
Kawasan Cagar Alam Kakenauwe secara administratif pemerintahan
masuk dalam wilayah Desa Kakenauwe dan
Desa Waoleona, Kecamatan Kapontori, Kabupaten Buton. Cagar Alam Kakenauwe
ditunjuk sebagai Cagar Alam berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor
: 639/Kpts/Um/9/1982 tanggal 1 September 1982 dengan luas 810 ha. Latar belakang
penunjukannya adalah karena kawasan ini merupakan habitat kayu lawang
(Cinnamomum cullilawan), habitat berbagai jenis tumbuhan dan satwa.
Secara
geografis, kawasan Cagar Alam Kakenauwe terletak antara 05°08’ LS – 05°12’ LS
dan 122°53’ BT - 122°57’ BT, berada pada ketinggian 15 – 300 m di atas
permukaan laut (dpl) dengan topografi landai hingga berbukit dengan medan
berbatu-batu karang. Berdasarkan Peta Tanah Provinsi Sulawesi Tenggara Cagar Alam
Kakenauwe memiliki jenis tanah mediteran sebagian berbatu-batu, dengan jenis
batuan menurut Peta Tematik Intag Provinsi Sulawesi Tenggara termasuk jenis
pratersier.
Tipe iklim Cagar
Alam Kakenauwe menurut Schmidt dan Ferguson termasuk tipe C dengan curah hujan
rata-rata tahunan sebesar 1.980 mm, kelembaban 80% dan suhu berkisar antara 20°
C hingga 34°C. Musim hujan biasanya jatuh pada bulan Januari hingga Juni,
secara umum kawasan ini dipengaruhi oleh angin laut yang bertiup cukup kencang
setiap hari karena letaknya yang berbatasan langsung dengan perairan Teluk
Lawele. Kawasan Cagar Alam Kakenauwe ini bersebelahan dengan Suaka Margasatwa Lambusango.
Kawasan Cagar
Alam Kakenauwe merupakan bagian dari wilayah wallacea yang terkenal dengan
endemisitas faunanya yang tinggi menjadi semakin penting, karena sering kali
kawasan ini menjadi habitat terakhir bagi kehidupan satwa liar langka yang
terancam kepunahannya. Hasil ekspedisi ilmiah dari Operation Wallacea ditemukan
dugaan adanya spesies fauna baru dari dalam kawasan Cagar Alam Kakenauwe.
Aksesibilitas
ke kawasan Cagar Alam Kakenauwe dapat ditempu dari Kendari ke Bau-Bau dengan
waktu tempuh sekitar ± 4 jam
dengan menggunakan kapal cepat. Kemudian dari Bau-Bau ke Cagar Alam
Kakenauwe (± 67 km) dengan waktu tempuh sekitar 3 jam melalui angkutan darat.
2.3.
Potensi
Flora Dan Fauna Pada Cagar Alam Kakenauwe
Pada
dasarnya ada 3 tipe vegetasi di lokasi Cagar Alam ini, yaitu vegetasi semak
belukar, hutan sekunder dan hutan primer dataran rendah. Berikut adalah
penjelasan dari 3 tipe vegetasi tersebut:
a. Vegetasi Semak Belukar
Tipe vegetasi
ini terdapat pada daerah yang terbuka di pinggiran kawasan Cagar Alam Kakenauwe
khususnya yang berbatasan dengan jalan raya. Pada tipe vegetasi ini didominasi
oleh rumput alang-alang atau dana (Imperata cylindrica). Selain itu juga
banyak ditumbuhi oleh tumbuhan semak belukar dan herba lainnya. Jenis-jenis
tersebut antara lain popoayo (Lantana camara), komba-komba (Chromolaena
odorata), lagula gundih (Stachytarpeta jamaicensis), Breynia
virgata, Sida rhombifolia, rore (Pipturus argenteus) dan ubi
tikus (Ipoemea angulata).
b. Vegetasi Hutan Sekunder
Hutan sekunder
pada umumnya merupakan kawasan hutan dengan tajuk pohon yang agak terbuka
karena pernah mengalami gangguan secara fisik. Dengan terbukanya kawasan
tersebut maka banyak ditumbuhi oleh jenis-jenis pohon sekunder, antara lain
lapi kabu (Mallotus risinoides), tawala (Macaranga mappa),
kapasono ganda (Glochidion sp.), unea (Callicarpa arborea),
moniaga (Anthocephalus macrophyllus), kafofo (Kleinhovia hospita),
bangkali (Nauclea orientalis) dan Neonauclea calycina.
Adapun jenis tumbuhan semak belukar yang mendominasi kawasan ini adalah Donax
cannaeformis. Sedangkan tumbuhan liana yang sering dijumpai adalah ondok (Dioscorea
hispida).
c. Vegetasi Hutan Primer
Jenis-jenis
pohon yang sering ditemukan di kawasan ini antara lain pohon kase (Pometia
pinnata), dongi (Dillenia serrata), betau (Calophyllum soulatri)
dan logasi (Pangium edule). Adapun tumbuhan perdu yang sering
dijumpai antara lain parigi-rigi dan pacombo (Leea spp.). Tumbuhan
epifit yang sering dijumpai antara lain berdoa (Asplenium nidus) dan Drynaria
sparsisora. Sedangkan tumbuhan liana yang cukup banyak populasinya
antara lain adalah Freycinetia angustifolia. dan beberapa jenis dari
suku talas-talasan (Araceae) serta sirih hutan (Piper sp.).
Vegetasi semak penutup lantai hutan yang populasinya cukup banyak ditemukan
adalah Elatostema sp. Dan Donax canaeformis. Sedangkan vegetasi
herbanya didominasi oleh Selaginella wildenowii dan S. plana. Pada
tipe vegetasi ini tumbuhan lumut cukup banyak ditemukan. Pada umumnya
lumut-lumut tersebut ditemukan di sepanjang sungai yang mengalir di kawasan ini.
Sungainya berbatu-batu besar dan agak terbuka. Tumbuhan lumut yang dikoleksi
disekitar sungai ini umumnya menempati habitat berupa bebatuan ataupun
menggantung di rantingranting pepohonan di tepi sungai. Sedangkan di lantai
hutannya yang berbatu cadas sangat jarang ditemukan lumut. Namun pada lokasi
yang bergelombang dan berbatu cadas dapat ditemukan lumut terutama dari anggota
suku Fisidentaceae dan Thuidiaceae yang tumbuh dominan. Selain
itu juga ditemukan beberapa jenis anggota suku Hypnaceae. Pada lokasi
yang datar, vegetasinya cukup rapat dan kelembabannya juga relatif tinggi.
Lantai hutannya berupa tanah dan banyak ditemukan serasah. Pada tempat inilah
banyak ditemukan lumut dengan populasi melimpah yang tumbuh menggantung di
ranting- ranting atau menempel pada batang pohon, daun dan serasah. Pada
umumnya lumut dari kelompok ‘hepaticae’ banyak ditemukan tumbuh pada habitat
berupa batang dan ranting-ranting pepohonan serta daun. Beberapa marga dari
anggotasuku Leujeuniaceae, Radulaceae, Frullaniaceae, Jubulaceae dan
Plagiochillaceae juga banyak ditemukan di lokasi ini. Sedangkan beberapa
jenis dari kelompok lumut sejati (“musci”) yang ditemukan antara lain: Mitthyridium
undulatum, Calymperes spp., Garovaglia plicata, Neckeropsis
lepineana, dan Barbella enervis. Adapun jenis-jenis yang
tumbuh di lantai hutannya antara lain Fisidens cristatus, Thuidium spp,
dan Ctenidium sp.
2.3.1
Jenis
flora yang ada di Cagar Alam Kakenauwe
1. Potensi Flora di Cagar Alam Kakenauwe
Kawasan
konservasi Cagar Alam Kakenauwe memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan yang
relatif cukup tinggi. Berdasarkan hasil identifikasi tercatat 170 jenis
tumbuhan berbiji (Spermatophyta) telah dikoleksi, 104 jenis diantaranya
telah diketahui potensi pemanfaatannya oleh masyarakat setempat. Kelompok jenis
tumbuhan berpotensi sebagai penghasil kayu tercatat paling banyak yaitu 32
jenis. Potensi lain dari tumbuhan yang dikoleksi diantaranya sebagai tanaman
hias sebanyak 20 jenis, tumbuhan obat sebanyak 16 jenis, penghasil buah-buahan
sebanyak 13 jenis, tumbuhan racun sebanyak 5 jenis dan penghasil minyak atsiri
sebanyak 1 jenis. Untuk tumbuhan paku (Pteridophyta) telah dikoleksi 12
jenis dan 6 jenis diantaranya telah diketahui pemanfaatannya, yaitu 4 jenis
sebagai tanaman hias, 1 jenis tumbuhan obat serta 1 jenis lainnya untuk bahan
kerajinan.
a. Penghasil Kayu Bangunan
Berdasarkan
informasi penduduk tidak kurang dari 32 jenis pohon kayunya bermanfaat untuk
berbagai keperluan, antara lain untuk bangunan rumah, pembuatan mebel, papan,
tiang dan kaso serta pembuatan perahu. Dari 32 jenis pohon tersebut, 3 jenis
diantaranya merupakan penghasil kayu kelas satu yang penting sebagai bahan
bangunan maupun pembuatan mebel. Ketiga jenis pohon ini adalah binti atau wola
(Vitex coffasus), cendana (Pterocarpus indicus) dan suwele (Palaquium
obtusifolium). Di samping itu terdapat pula jenis-jenis pohon lainnya yang
merupakan penghasil kayu kelas dua, yaitu saru (Actinodaphne borneensis),
sangkorea (Knema sp.), ete (Palaquium bataanense), moniaga (Anthocephalus
macrophyllus), bangkali (Nauclea orientalis), dongi (Dillenia
serrata), bolongita (Melochia umbellata), sarempa (Pterospermum
diversifolium) dan bau atau rumbai (Pterospermum celebicum). Pohon
bau (Pterospermum celebicum) merupakan jenis yang dilindungi
pemerintah. Sedangkan pohon dongi (Dillenia serrata) merupakan
jenis endemik di Sulawesi dan banyak dimanfaatkan penduduk lokal
untuk pembuatan perahu. Jenis-jenis pohon lain yang dimanfaatkan
penduduk untuk pembuatan perahu adalah kapuk hutan (Bombax
valetonii), betau (Calophyllum soulatri) dan bolongita (Melochia
umbellata). Khususnya untuk kapuk hutan (B. valetonii) selain
dimanfaatkan untuk pembuatan perahu, jenis ini pada waktu berbunga banyak
dikunjungi lebah madu. Kualitas madu yang dihasilkannya sangat baik.
b. Tumbuhan obat
Jumlah
tumbuhan obat yang dimanfaatkan penduduk lokal ada 16 jenis. Tiga diantaranya
merupakan jenis tumbuhan obat langka, yaitu oeo kuning atau tali kuning (Arcangelisia
flava), kambo-kamboa (Oroxylum indicum) dan gompanga (Alstonia
scholaris). Bagian akar dan batang tali kuning (Arcangelisia flava)
serta kulit batang gompanga (Alstonia scholaris) oleh penduduk
dimanfaatkan untuk mengobati malaria. Sedangkan kambo-kamboa (O. indicum),
bijinya dimanfaatkan untuk mengobati disentri, rematik dan penguat
setelah melahirkan. Di samping itu pohon mangkudu (Morinda citrifolia
var. bracteata) juga banyak ditemukan di kawasan ini. Buah mangkudu
beberapa saat terakhir ini banyak dicari orang untuk pengobatan berbagai
penyakit berat. Dengan demikian pohon ini mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi.
Penduduk lokal menggunakannya untuk pencegahan penyakit kanker atau tumor
dengan cara meminum rebusan air buahnya. Sedangkan kulit batang saungkorea (Myristica
fatua) dan kulit batang dongi (Dillenia celebica) digunakan penduduk
lokal untuk mengobati muntah darah.
c. Buah-buahan
Jenis-jenis
pohon penghasil buah-buahan yang dapat dimakan (edible fruits) tidak banyak
ditemukan di kawasan ini. Salah satunya yaitu dongi (Dillenia serrata)
merupakan tumbuhan endemik yang buahnya dapat dimakan dan digunakan oleh
penduduk lokal sebagai pengganti asam. Di kawasan ini juga banyak ditumbuhi
pandopi (Eltingera sp.) yang buahnya manis, pohon kase (Pometia
pinnata) yang rasa buahnya cukup manis, pohon rambutan hutan (Nephelium sp.),
dan kafofo (Mangifera indica). Pohon kangkose (Gnetum gnemon)
juga sering ditemukan. Penduduk memanfaatkan bijinya untuk dimakan setelah
dimasak. Pohon kalopa (Inocarpus fagiferus) bijinya dapat dimakan
setelah direbus.
d. Tanaman hias
Salah
satu koleksi yang menarik dan berpotensi sebagai tanaman hias adalah Begonia
sp., banyak ditemukan di pinggirpinggir sungai berbatu. Di samping itu juga
ditemukan Impatiens platypetala yang berbunga jingga. Beberapa jenis
tumbuhan paku-pakuan yang dapat dimanfaatkan sebagai tanaman hias, antara lain Drynaria
sparsisora dan berdoa (Asplenium nidus). Penduduk lokal mengenal
ada dua macam tumbuhan berdoa (A. nidus), yaitu tumbuhan berdoa (A. nidus),
yaitu berdoa perempuan dan berdoa laki-laki. Keduanya dibedakan berdasarkan
ukuran daunnya. Berdoa perempuan mempunyai ukuran daun lebih pendek dari pada
berdoa laki-laki. Oleh karena itu kedua takson ini perlu diteliti secara
taksonomi. Tumbuhan palempaleman (Arecaceae) yang berpotensi sebagai tanaman
hias antara lain sampu (Pinanga caesia), dan kabaru-baru (Caryota
mitis). Di kawasan ini ditemukan satu jenis anggrek tanah (Habenaria
medusa) berbunga putih menarik. Kajini-jini (Clerodendrum sp.)
merupakan tumbuhan semak berbunga merah jingga dan menarik sebagai tanaman
hias.
e. Penghasil Minyak Atsiri
Satu-satunya
jenis tumbuhan yang bernilai ekonomi penting sebagai penghasil minyak atsiri
adalah pohon lawang (Cinnamomum celebicum). Pohon lawang masih cukup
banyak ditemukan di kawasan ini dan merupakan penghasil minyak lawang yang
bernilai ekonomi cukup tinggi.
f. Tumbuhan Racun
Di
kawasan ini banyak ditemukan pohon Silato (Dendrochnide stimulan) yang
bulu-bulunya sangat beracun. Bulu-bulu tersebut apabila mengenai anggota badan
dapat mengakibatkan bengkak dan rasa panas. serta batang Derris elliptica
digunakan penduduk lokal sebagai racun ikan.
2. Jenis
flora terkenal dan diantaranya endimik Cagar Alam Kakenauwe
Beberapa
flora yang terkenal di Cagar Alam Kakeunawe dan diantaranya termasuk endemik
yaitu: Gito-gito (Diospyros pilosanthera), Bayam (Intsia
bijuga), Biti atau Awola (Vitex coffasus), Kolaka (Casearia
grewiaetifolia), Sabampolulu (Desoxyllum sp.), Dongi (Dillenia
serrata), Mangga hutan (Mangifera sp.), Kayu Cina (Podocarpus
neriifolius), Ketapang hutan (Terminalia supitiana), Betau (Calophyllum
soulatri), Upi (Intsia palembanica), Nyatoh (Palaquium
batoanense), Rotan (Calamus sp.),
dan Pandan hutan (Pandanus sp.). Berikut
adalah penjelasan dari beberapa flora
yang terdapat di cagar alam kakenauwe
a. Nyatoh (Palaquium
batoanense)
Nyatoh
( Palaquium batoanense ) termasuk kelompok jenis kayu
perdagangan dari suku Sapotaceae. Pada umumnya kayu
Nyatoh dimanfaatkan sebagai konstruksi rumah, bahan perahu, perabot rumah,
pintu berukir, venir dan panel. Selain itu buah dan biji dapat dimakan, bijinya
dapat digunakan untuk membuat minyak goreng atau minyak padat, mentega, sabun
dan minyak lampu penerang. Getahnya disebut getah perca digunakan untuk bahan
membuat bola golf, isolasi kabel listrik, pembalut pipa, dan untuk melindungi
luka. Di antara jenis nyatoh, ada yang memiliki kayu bercorak indah sehingga
dipakai untuk kayu lapis indah dan alat musik. Bahkan bisa menggantikan kayu sapele ( Entandrophragma
cylindricum ) yang diimpor dari Afrika.
Gambar: Nyatoh (Palaquium
batoanense)
b. Ketapang
hutan (Terminalia supitiana)
Ketapang hutan (Terminalia supitiana) kerap
ditanam sebagai pohon peneduh di taman ataupun pinggir jalan. Pohon Ketapang
mempunyai bentuk cabang dan tajuk yang khas. Cabangnya mendatar dan tajuknya
bertingkat-tingkat mirip struktur pagoda. Tingginya dapat mencapai 35 meter. Manfaat Ketapang, Ketapang telah
menjadi pohon multiguna sejak dahulu. Pepagan (kulit luar) dan daunnya berguna
untuk menyamak kulit, pewarna alami, dan sebagai tinta. Kayunya mempunyai
kualitas cukup baik meskipun rentan rayap. Biji ketapang bisa dimakan dan
mengandung minyak (mirip minyak almond) sehingga sering dipakai sebagai
pengganti minyak almond yang berkhasiat meredakan radang rongga perut. Jika
dimasak bersama daunnya dapat menyembuhkan lepra, kudis dan penyakit kulit yang
lain.
Gambar: Ketapang
hutan (Terminalia supitiana)
c. Pandan hutan
(Pandanus sp.)
Pandan merupakan segolongan tumbuhan
monokotil
dari genus Pandanus.
Ukuran tumbuhan ini bervariasi, mulai dari 50 cm hingga 5 meter. Daunnya selalu
hijau (hijau abadi, evergreen), sehingga beberapa di antaranya dijadikan
tanaman hias. Daun pandan digunakan sebagai pewangi dan
pewarna makanan, juga komponen dekorasi dan pewangi ruangan.
Gambar: Pandan hutan
(Pandanus sp.)
d. Rotan (Calamus
sp.)
Rotan adalah sekelompok palma
dari puak (tribus) Calameae
yang memiliki habitus memanjat,
terutama Calamus. Batang rotan biasanya langsing dengan diameter 2–5 cm,
beruas-ruas panjang, tidak berongga, dan banyak yang dilindungi oleh duri-duri
panjang, keras, dan tajam. Rotan cepat tumbuh dan relatif mudah dipanen serta
ditransprotasi. Tanaman ini dianggap membantu menjaga kelestarian hutan, karena
orang lebih suka memanen rotan daripada kayu..
Pemanfaatan rotan terutama adalah sebagai bahan baku mebel,
misalnya kursi, meja tamu, serta rak buku. Rotan memiliki beberapa keunggulan
daripada kayu, seperti ringan, kuat, elastis / mudah dibentuk, serta murah.
Kelemahan utama rotan adalah gampang terkena kutu bubuk.
Gambar: Rotan (Calamus
sp.)
e. Betau (Calophyllum
soulatri )
Betau (Calophyllum soulatri ) memiliki Pohon yang tinggi dan besar, agak ramping. Pohon ini menghasilkan kayu yang baik untuk memenuhi berbagai keperluan. Pepagan (kulit luar) dari beberapa jenisnya menghasilkan getah beracun yang dapat digunakan membius ikan atau meracun tikus. Sementara air rebusan pepagan dari beberapa jenis yang lain dapat dimanfaatkan sebagai obat tradisional. Pepagan beberapa jenisnya juga menghasilkan bahan pewarna batik atau tanin. Beberapa jenis buahnya dapat dimakan atau dibuat acar, meskipun rasanya masam. Beberapa jenis bijinya menghasilkan minyak untuk penerangan atau membuat sabun. Kayu dari pohon ini cukup baik untuk konstruksi ringan, bahan lantai, geladak dan konstruksi kapal, papan hias (moulding), papan bingkai, perabot rumah, palet kayu, venir dan kayu lapis. Juga untuk tiang-tiang kapal, bahan jembatan dan perancah, roda kereta dan sumbunya serta gerbong kereta api.
Gambar: Betau (Calophyllum
soulatri )
f. Bayam (Intsia
bijuga)
Bayam (Intsia
bijuga) memiliki pohon yang tumbuh
tegak, lurus, dapat mencapai tinggi 50 meter, diameter batang 160 cm bahkan ada
yang mencapai 250 cm. Batang berbanir dengan warna kulit luar kelabu coklat dan
beralur dangkal. Daunnya tersusun majemuk terdiri dari 4 sampai 6 anak daun
yang berbentuk bundar atau bulat telur. Daun
dan kulit kayunya dapat digunakan sebagai bahan obat-obatan. Bayam (Intsia
bijuga) termasuk dalam kelas awet I - II dan
kelas kuat I - II dengan berat jenis rata-rata 0.80, bertekstur agak keras
dengan serat lurus atau berpadu, tergolong sangat keras dengan sifat pengerjaan
agak sukar. Dengan sifat kayu sedemikian maka jenis pohon ini dapat digunakan
untuk keperluan kayu bangunan, lantai, kayu perkapalan, juga sesuai untuk
konstruksi bangunan air, namun umumnya terlalu keras untuk industri kayu lapis.
Gambar: Bayam (Intsia
bijuga)
g. Bitti atau
Awola (Vitex coffasus)
Kayu
Bitti atau Awola (Vitex Cofassus) memiliki sifat dan kegunaan yang
hampir mirip dengan kayu Jati (Tectona Grandis)., kayu ini sudah cukup
melegenda, hal ini disebabkan karena kayu jenis ini memiliki serat yang rapat
dan tidak disukai oleh rayap. Kayu Bitti bisa tumbuh dengan tinggi mencapai 40
hingga 45 meter dan biasanya tanpa banir. Diameter batang dapat mencapai 80
hingga 130 cm, beralur dalam dan jelas, kayunya padat dan berwarna kepucatan.
Kayunya tergolong sedang hingga berat, kuat, tahan lama dan tidak mengadung
silika. Di kalangan masyarakat luas kayu Bitti dijadikan sebagai bahan baku
untuk konstruksi rumah, baik berupa papan maupun balok atau kuseng, di gunakan
dalam industri pembuatan kapal dan perahu, karena memiliki daya tahan di dalam
air. Sedangkan untuk industri meubel seperti pembuatan lemari, meja, kursi dan
lain sebagainya, kayu Bitti di pilih karena memiliki tekstur yang baik dan
tahan terhadap rayap.
Gambar: Bitti atau
Awola (Vitex coffasus)
h. Dongi (Dillenia
serrata)
Dongi (Dillenia
serrata) adalah
tumbuhan
anggota marga
Dillenia, suku
Dilleniaceae. Seluruhnya tercatat sekitar 60 spesies
tumbuhan berupa pohon,
perdu
atau semak,
yang menyebar luas. Semak, perdu, hingga pohon yang cukup besar; tinggi hingga
40-50 m
dan gemang hingga 125-200 cm..
Dalam perdagangan internasional kayunya dikenal dengan nama simpoh,
sedangkan menurut daftar kayu komersial di Indonesia
tercatat sebagai simpur. Kayu simpoh tergolong kayu menengah hingga
berat, dengan kerapatan kayu (pada kadar air 15%) antara 560 – 930 kg/m. Kayu
simpoh cocok digunakan untuk konstruksi, tiang-tiang, pintu jendela serta
kusennya, panil-panil dekoratif, lantai, furnitur,
rangka dan lantai perahu,
venir
serta kayu lapis.
Meskipun keawetan kayu ini tergolong rendah hingga sedang, kayu simpoh mudah
diawetkan dengan kreosot
atau bahan pengawet lain. Simpoh rentan terhadap serangan rayap
kayu-kering dan jamur
perusak kayu.
Gambar: Dongi (Dillenia
serrata)
i.
Mangga hutan (Mangifera sp.)
Mangifera adalah nama
salah satu marga
pada suku
mangga-manggaan atau Anacardiaceae.
Anggotanya adalah kurang lebih 35-40 jenis mangga-manggaan yang menyebar di
wilayah Asia
tropis. Sering berupa pohon
besar, yang dapat mencapai tinggi 20 m
atau bahkan lebih, tanpa banir
(akar papan), dengan batang besar dan percabangan yang tinggi, membentuk tajuk
yang rapat dan rindang. Apabila dilukai, kulit batang akan mengeluarkan getah
yang mula-mula bening, kemudian kemerahan dan menghitam dalam beberapa jam.
Gambar:
Mangga hutan
(Mangifera sp.)
j.
Kayu Cina (Podocarpus
neriifolius)
Kayu Cina (Podocarpus neriifolius)
adalah jenis konifer
yang termasuk dalam suku
Podocarpaceae.
Tumbuhan ini Biasanya tumbuh pada ketinggian 650 m sampai dengan 1600 m di atas
permukaan laut. Namun, terdapat beberapa varietas
yang toleran tumbuh di elevasi
rendah. Tumbuhnya berupa pohon
yang dapat mencapai ketinggian 10–15 m, meskipun dapat lebih tinggi, di kawasan
Asia tropis dan subtropis. Tipe yang kerdil ditanam orang sebagai tanaman
pembatas jalan. Tumbuhan ini berumah dua, seperti banyak tumbuhan runjung lain.
Organ jantan berupa untai kecil berwarna kekuningan. Organ betina membawa biji
yang tertutup salut
biji (aril) dengan struktur aksesori di
pangkalnya berupa bengkakan berwarna ungu gelap. Kayunya tergolong baik,
termasuk kelas dua. Warna kayunya putih kekuningan dan dapat dipakai untuk bangunan.
Gambar: Kayu Cina (Podocarpus neriifolius)
k. kayu lawang (cinnamomum cullilawan)
Kayu Lawang dengan bahasa latin cinnamomum cullilawan. Tanaman ini dianggap sangat langka karena hanya ditemukan di daerah-daerah tertentu saja. Kayu lawang juga memiliki proses pertumbuhan yang bisa dibilang cukup lama yakni 15 tahun sebekum akhirnya siap untuk diolah. Tentu membutuhkan waktu lama untuk memelihara tanaman tersebut, namun khasiat yang didapat juga sebanding. Kayu Lawang dipercaya mampu menyembuhkan berbagai penyakit. Menurut hasil penelitian, kayu lawang sangat bermanfaat dalam menjaga fungsi hati. Selain itu kayu lawang ini juga bisa digunakan untuk menanggulangi penyakit hepatitis yakni penyakit kerusakan hati. Tak hanya itu, tanaman kayu lawang ini dapat digunakan untuk meningkatkan stamina dan menjaga stabilitas dan vitalitas tubuh.
Gambar: kayu lawang (cinnamomum cullilawan)
l. kayu hitam (Diospyros celebica)
kayu hitam (Diospyros celebica) adalah nama kayu hitam yang berasal dari sulawesi selatan dari spesies eboni (Ebenaceae). Anggotanya di seluruh dunia mencapai sekitar 450-500 spesies pohon dan perdu yang selalu hijau atau sebagian ada pula yang menggugurkan daun. Kebanyakan tumbuhan ini berasal dari daerah tropis, dan hanya beberapa spesies yang tumbuh di daerah beriklim sedang.Tetapi jenis kayu hitam ini berbeda dengan spesies kayu hitam yang ada di seluruh dunia. Diospyros Celebica memiliki ciri khas yaitu Pohon yang lurus dan tegak dengan tinggi sampai dengan 40 m. Diameter batang bagian bawah dapat mencapai 1 m. Kulit batangnya beralur, mengelupas kecil-kecil dan berwarna coklat hitam. Pepagannya berwarna coklat muda dan di bagian dalamnya berwarna putih kekuning-kuningan. Karena perkembangan populasi yang lambat dan karena tingginya tingkat eksploitasi di alam, kini kayu hitam Sulawesi telah terancam kepunahan. Ekspor kayu ini mencapai puncaknya pada tahun 1973 dengan jumlah sekitar 26,000 m3, dan kemudian pada tahun-tahun berikutnya terus menurun karena kekurangan stok di alam
Gambar: kayu hitam (Diospyros celebica)
Dari beberapa jenis flora yang dijelaskan dia atas, Flora
Identitas atau endemik Daerah Sulawesi Tenggara yang terdapat di Cagar Alam
Kakenauwe adalah Dongi (Dillenia
serrata). Dongi (Dillenia serrata)
merupakan jenis endemik di Sulawesi dan banyak dimanfaatkan
penduduk lokal untuk pembuatan perahu.
Sedangkan
flora yang khas atau flora yang banyak tumbuh di Cagar Alam Kakenauwe adalah
kayu Lawang (cinnamomum cullilawan) dan kayu Hitam (Diospyros celebica). Kayu Lawang dengan bahasa latin cinnamomum cullilawan. Tanaman ini
dianggap sangat langka karena hanya ditemukan di daerah-daerah tertentu saja.
Kayu ini merupakan kayu yang memiliki banyak khasiat yang mampu menyembuhkan
berbagai penyakit. Sedangkan kayu hitam (Diospyros celebica) adalah nama kayu
hitam yang berasal dari Sulawesi Selatan dari spesies Eboni (Ebenaceae). Akan
tetapi Kayu Hitam Sulawesi telah terancam kepunahan Karena perkembangan
populasi yang lambat dan karena tingginya tingkat eksploitasi di alam.
2.3.2.
Jenis
Fauna yang ada di Cagar Alam Kakenauwe
Beberapa flora yang
terkenal di Cagar Alam Kakeunawe dan diantaranya termasuk endemik yaitu: Anoa dataran rendah (Bubalus
depressicornis), Babi hutan (Sus sp.), Monyet hitam Sulawesi (Macaca
ochreata), Rusa (Cervus timorensis), Kus-kus (Phalanger
celebensis), Musang Sulawesi (Macrogalidia musschenbroeki), Tarsius (Tarsius
sp.), Ayam hutan (Gallus gallus), Rangkong (Rhyticeros cassidix),
Raja udang (Alcedo meninting), Elang (Accipiter nanus), Nuri
Sulawesi (Tanignathus sumatranus).
a.
Anoa dataran rendah (Bubalus
depressicornis)
Anoa Dataran Rendah
atau Bubalus depressicornis kerap disebut juga sebagai Kerbau Kerdil.
Anoa Dataran Rendah relatif lebih kecil, ekor lebih panjang dan lembut, serta
tanduk melingkar dan lebih panjang (18-37 cm), serta bulu yang tumbuh lebih
jarang. Tinggi tubuh di sekitar bahu berkisar antara 95-110 cm, panjang tubuh
180 cm, sedangkan berat badan berkisar antara 200 sampai 300 kg. Masa hidup
Anoa Dataran Rendah adalah sekitar 20 tahun saat hidup di alam liar dan
tercatat mampu mencapai usia hingga 31 tahun saat ditangkarkan. Hewan ini
merupakan hewan endemik
pulau Sulawesi Indonesia, daerah sebarannya meliputi pulau Sulawesi bagian
utara, tengah, timur, tenggara, dan pulau Buton pada daerah dataran rendah
hingga ketinggian 1000 meter dpl.
Gambar: Anoa dataran
rendah (Bubalus depressicornis)
b.
Babi hutan (Sus sp.)
Babi Hutan atau dikenal
juga dengan nama Celeng, memiliki nama latin Sus Scrofa.
Merupakan babi dari genus Sus, bagian dari keluarga Suidae. Tinggi
Babai Hutan dewasa diukur dari pundaknya sekitar 55 – 110 cm. Babi Hutan dewasa
dapat memiliki panjang 90 hingga 200 cm. Itu belum ditambah dengan panjang
ekornya yang bisa mencapai 15 – 40 cm. Berat babi hutan rata-rata sekitar 50 –
90 kg, tergantung dari daerah tempat tinggalnya. Babi Hutan memang merupakan
salah satu mangsa Harimau. Namun harimau selalu menghindari menyerang Babi
Hutan jantan yang sudah dewasa, karena dalam beberapa kasus, harimau ada yang
mati karena tertusuk tanduk si babi hutan. Manusia juga harus sangat waspada
terhadap hewan yang satu ini, apalagi jika si babi hutan sedang bersama anak
kecilnya
Gambar: Babi hutan (Sus
sp.)
c.
Monyet hitam Sulawesi (Macaca
ochreata)
Monyet
Hitam sulswesi (Macaca cchreata) merupakan Satwa yang hidup di hutan
primer atau sekunder. Panjang tubuh Monyet Hitam sekitar 500 – 690 mm, panjang
ekor 30 – 35 mm, dengan berat berkisar antara 5-6 kg. Warna rambut dari jenis
ini bervariasi dari coklat muda hingga coklat kehitaman, dengan warna pucat di
bagian tunggingnya. Monyet hutan sulawesi hidup di pohon (arboreal), namun
kebanyakan hidup di permukaan tanah (teresterial) karena kerapatan pohon yang
rendah di hutan sehingga mereka tidak membuat sarang. Monyet Hitam menghadapi
ancaman kepunahan akibat pengurangan habitat dan perburuan oleh masyarakat
karena dianggap sebagai hama pertanian.
Gambar: Monyet hitam
Sulawesi (Macaca ochreata)
d.
Rusa (Cervus timorensis)
Rusa (Cervus
timorensis) adalah hewan
mamalia
pemamah biak
(ruminan) yang termasuk familia
Cervidae. Salah satu ciri khas
rusa adalah adanya antler (tanduk
rusa). Bobot rusa umumnya berkisar 30-250
kilogram. Mereka umumnya memiliki luwes, badan kompak dan panjang, kaki kuat
cocok untuk medan hutan kasar. Rusa juga jumper yang sangat baik dan perenang.
Gigi rusa disesuaikan dengan makan pada vegetasi tempat tinggalnya.
Gambar: Rusa (Cervus
timorensis)
e.
Kus-kus (Phalanger celebensis)
Kus-kus merupakan salah satu
mamalia berkantung yang ada di Indonesia.
Ciri utama kus-kus selain kantong yang terdapat di perutnya adalah bentuk muka
yang bundar dengan daun telinga yang kecil, serta bulu yang lebat. Selain itu
kuskus mempunyai ekor yang panjang dan kuat yang berfungsi sebagai alat untuk
berpegangan saat berpindah dari satu dahan ke dahan lainnya. Ekor kuskus juga
menjadi senjata pertahanan dengan cara mengaitkan ekornya kuat-kuat pada batang
atau cabang pohon. Kuskus merupakan binatang herbivora
dengan makanan utama dedaunan dan buah-buahan. Kuskus kerdil (Strigocuscus
celebensis); Kuskus yang disebut juga sebagai Small Sulawesi Cuscus,
Little Celebes Cuscus, Small Cuscus ini merupakan kuskus terkecil yang terdapat
di Sulawesi dan pulau sekitarnya seperti Sangihe dan Siau. Status konservasinya
“Vulnerable”. Kuskus terbesar adalah kuskus beruang (Ailurops ursinus)
yang panjang tubuhnya mencapai 1 meter lebih. Sedangkan jenis kuskus terkecil
adalah kus-kus kerdil yang memiliki panjang tubuh hanya 29-38 cm dengan berat
hanya 1 kg.
Gambar: Kus-kus (Phalanger
celebensis)
f.
Musang Sulawesi (Macrogalidia
musschenbroeki)
Musang sulawesi (Macrogalidia musschenbroekii)
adalah musang
yang sedikit diketahui dan endemis
di Sulawesi.
Hewan ini didaftarkan sebagai spesies
rentan oleh International
Union for Conservation of Nature
karena penurunan populasi yang diperkirakan lebih dari 30% selama 3 generasi
terakhir (dicurigai selama 15 tahun)
yang diduga akibat kerusakan habitat
dan degradasi
lingkungan. Musang sulawesi memiliki lapisan
tipis dan pendek berwarna kastanye cokelat muda dengan sejumlah campuran bulu
halus. Bagian tubuh bawahnya beragam dari kuning kemerahan hingga putih;
dadanya
sedikit berwarna kemerahan. Ada sepasang garis membujur yang tak jelas dan
beberapa titik gelap di bagian tersembunyi di punggung.
Cambangnya
bercampur antara cokelat
dan putih. Ekornya
ditandai dengan cincin gelap dan cokelat muda yang berselang-seling, yang tidak
dapat dibedakan di permukaan bawah, dan lenyap menuju ujung yang gelap. Panjang
kepala
dan tubuhnya
sekitar 35 in (89 cm) dengan ekor sepanjang 25 in (64 cm).
Musang sulawesi tercatat berada di hutan
dataran rendah,
hutan montane atas dan bawah, semak belukar
dan dekat pertanian.
Musang sulawesi adalah omnivora
yang memakan mamalia kecil, buah,
dan rumput.
Kadang-kadang, musang sulawesi memakan burung
dan hewan
pertanian.
Gambar: Musang
Sulawesi (Macrogalidia musschenbroeki)
g.
Tarsius (Tarsius sp.)
Tarsius sp. merupakan salah
satu primata endemik yang hidup di sekitar kawasan Sulawesi. Tarsius
sp. sering dikatakan sebagai hewan primata mungil karena karena hanya
memiliki panjang sekitar 10-15 cm dengan berat sekitar 80 gram. Salah satu
jenis spesies tarsisus yang termungil adalah Tarsius pumilus. Jenis
spesies ini hanya memiliki panjang tubuh antara 93-98 milimeter dan berat 57
gram, panjang ekornya antara 197-205 milimeter. Bisa dibayangkan yah betapa
mungilnya si hewan primata endemik satu ini. Jenis pakan yang dikonsumsi oleh Tarsius
sp. pada umumnya itu berupa jangkrik, belalang, kadal kecil, cicak, anak
burung, kumbang, tonggeret, laron, laba-laba kecil, ulat daun dan
serangga-serangga lainnya.
Gambar: Tarsius (Tarsius sp.)
h.
Ayam hutan (Gallus gallus)
Ayam hutan atau dalam nama ilmiahnya Gallus
gallus adalah sejenis burung
berukuran sedang, dengan panjang sekitar 78cm, dari suku Phasianidae.
Ayam betina berukuran lebih kecil, dengan panjang sekitar 46cm. Ayam hutan
hidup berkelompok, ayam jantan dengan beberapa ayam betina. Di pagi dan sore
hari, mereka keluar mencari makanan di atas permukaan tanah. Pakan Ayam hutan
terdiri dari aneka biji-bijian, pucuk rumput dan dedaunan, serangga serta
berbagai jenis hewan kecil. Sebagai salah satu unggas yang paling banyak
ditemui dan diternakkan, ayam hutan dievaluasikan sebagai beresiko rendah.
Gambar: Ayam hutan (Gallus
gallus)
i.
Rangkong (Rhyticeros
cassidix)
Burung
Rangkong dikenal juga sebagai Julang, Enggang, dan Kangkareng atau bahasa
Inggris disebut Horbbill merupakan nama burung yang tergabung dalam suku
Bucerotidae. Burung Rangkong atau Enggang mempunyai ciri khas pada paruhnya
yang mempunyai bentuk menyerupai tanduk sapi.
Burung Rangkong terdiri atas 57 spesies yang tersebar di Asia dan Arika.
14 jenis diantaranya terdapat di Indonesia. Bahkan 3 diantaranya merupakan
Rangkong endemik Indonesia. Rangkong Sulawesi atau Julang Sulawesi Ekor Hitam (Rhyticeros
Cassidix); Rangkong ini merupakan satwa endemik pulau Sulawesi. Satwa yang
nama ilmiahnya bersinonim dengan Aceros cassidix ini oleh masyarakat
setempat disebut juga sebagai Rangkong Buton, Burung Taonn, Burung Alo.
Gambar: Rangkong (Rhyticeros
cassidix)
j.
Raja udang (Alcedo meninting)
Raja-udang
meninting (Alcedo meninting) merupakan burung kecil berukuran 14 cm
yang tubuh bagian bawahnya berwarna merah-jingga terang dengan penutup telinga.
Kakinya ramping berwarna merah dengan paruh besar berwarna kehitaman.
Kebiasaannya adalah mencari makan berupa ikan-ikan kecil dan udang-udangan
serta mengangguk-anggukan kepalanya saat mengintai mangsa. Sarangnya biasa
berada di ‘tebing-tebing’ tanah di pinggir sungai atau badan air lainnya.
Burung ini terbang sangat cepat dari satu tenggeran ke tenggeran lain, membuat
gerakan kepala turun-naik yang aneh ketika mencari makan. Menyelam secepat
kilat untuk menangkap mangsa. Mangsa kemudian dibawa ke tenggeran dibunuh baru
dimakan.
Gambar: Raja udang (Alcedo
meninting)
k.
Elang (Accipiter nanus)Nuri
Sulawesi (Tanignathus sumatranus).
Elang
Sulawesi (Sulawesi Hawk Eagle) merupakan salah satu elang endemik sulawesi yang
terdistribusi di hutan hujan Sulawesi dan pulau-pulau satelitnya antara lain
Muna, Buton, Kepulauan Sula dan kepulauan banggai. Makanan utamanya adalah burung,
kadal, ular dan mamalia kecil seperti tikus. Berukuran sedang
sekitar 64 cm dari kepala sampai ekor, elang dewasa berwarna coklat karat,
terdapat garis yang jelas di kepala dan dada, sayap berwarna coklat gelap dan
putih bergaris hitam di bagian bawah sayap, elang muda mempunyai kepala
berwarna putih, termasuk dalam famili accipitidae. Diperkirakan
populasinya 5000-10.000 individu (Ferguson-Lees et al. 2001) dan masuk kategori
Terancam punah menurut IUCN dan dalam CITES dikategorikan dalam appendix II.
Data populasi terkini masih belum diupdate lagi dan kemungkinan besar sudah
sangat turun populasinya karena banyaknya degradasi habitat yang terjadi di
Sulawesi.
Gambar: Elang (Accipiter nanus)
l.
Nuri Sulawesi (Tanignathus
sumatranus)
Nuri
Sulawesi (Tanignathus sumatranus) juga diketahui Nuri muller, atau Nuri bokong-biru. Nuri
ini endemik
di Filipina,
Sulawesi
dan pulau-pulau didekatnya di Indonesia.
Hewan ini adalah jenis betet-kelapa
(Tanygnathus) yang tubuhnya didominasi warna hijau; bagian bawah tubuh
dan mantel berwarna hijau kekuningan pada jantan, dan hijau tua pada betina;
disertai biru muda pada sayap.
Punggung
dan pinggang
berwarna biru, ujung ekornya
berwarna hijau kekuningan. Pada burung jantan, paruh berwarna merah, sementara
betina berwarna putih krem/gading. Iris
berwarna kuning.
Gambar:
Nuri
Sulawesi (Tanignathus sumatranus)
Fauna Identitas atau endemik Daerah Sulawesi Tenggara yang terdapat di Cagar Alam Kakenauwe adalah Anoa (Bubalus depressicornis) yang termasuk suku Bovidae. Anoa merupakan satwa endemik Sulawesi dan telah dilindungi berdasarkan Ordonansi Perlindungan Binatang Liar 1931 No.266. (Depdagri, 1995).
Sedangkan fauna yang khas atau fauna yang banyak terdapat di Cagar Alam Kakenauwe adalah beberapa jenis burung. Pada kawasan CA kakenauwe ditemukan sedikitnya 80 jenis burung, 37 jenis diantaranya merupaklan jenis endemik sulaweesi. Jenis burung tersebut misalnya Elang (accipter nanus) dan Nuri sulaweesi (tanignathus sumatranus).
2.4. Permasalahan Yang Ada Pada Cagar Alam Kakenauwe
Permasalahn yang menonjol dalam kawasan cagar alam ini antara lain yaitu pencurian kayu dan kayu bakar. Dikhawatirkan apabila pemungutan hasil hutan secara illegal tersebut tidak ditanggulangi akan menyebabkan kerusakan habitat satwa, disamping itu juga banyak terjadi perburuan satwa liar termasuk satwa-satwa yang dilindungi oleh perundang-undangan.
Habitat Cagar Alam Kakenauwe yang berada pada
pemerintahan Kabupaten Buton dan Buton Utara terancam karena penyerobotan lahan
perkebunan, pencurian kayu, rotan dan perburuan liar di kawasan cagar alam
kakenauwe ini. Berbagai permasalahan dalam kawasan konservasi baik pencurian
kayu, rotan, penyerobotan lahan maupun perburuan liar harus ditangani lintas
sektoral.
Cagar Alam Kakenauwe idealnya untuk lokasi wisata,
pendidikan dan penelitian tetapi harus dilakukan secara terkoordinasi sesuai
ketentuan yang ada. Bukan seperti yang terjadi sejak beberapa tahun lalu yakni
pembalakan liar dan pencurian hasil hutan berupa rotan. Hal ini tentunya akan mengancam habitat fauna yang ada di dalamnya.
Kepala Badan Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Sulawesi
Tenggara (Sultra) Sahulata R. Yohana mengatakan, balai konservasi dan
pemerintah menjalin komunikasi dalam hal pengawasan Cagar Alam Kakenauwe. Benar
bahwa kawasan konservasi adalah tanggung jawab BKSDA tetapi tidak ada salahnya
kalau pemerintah kabupaten/kota turut memberi perhatian agar pengawasan Cagar
Alam Kakenauwe lebih optimal.
BAB IV
PENUTUP
4.1.
Kesimpulan
Cagar Alam Kakenauwe merupakan cagar alam terbesar
ketiga di Sulawesi Tenggara dengan luas lahan berdasarkan SK Menteri Pertanian 810
ha. Secara geografis Cagar Alam Kakenauwe terletak antara 05°08’ LS – 05°12’ LS
dan 122°53’ BT - 122°57’ BT, berada pada ketinggian 15 – 300 m di atas
permukaan laut (dpl). Cagar Alam Kakenauwe sangat berpotensi dengan flora dan
fauna yang ada di dalamnya. Cagar Alam ini terkenal dengan endemisitas faunanya
yang tinggi, karena sering kali kawasan ini menjadi habitat terakhir bagi
kehidupan satwa liar langka yang terancam kepunahannya. Akan tetapi tak jarang
kita cumpai berbagai permasalan yang terjadi di cagar alam ini, misalnya pencurian
kayu, rotan, penyerobotan lahan maupun perburuan. Olehnya perlu adanya
pengawasan yang lebih optimal terhadap Cagar Alam Kakenauwe ini.
4.2.
Saran
Sebagai salah satu cagar alam terbesar di sulawesi
tenggara, Cagar Alam Kakenauwe harus lebih mendapat perhatian, pengawasan dan
pengurusan yang lebih, baik dari pemerintah, BKSDA
Sulawesi Tenggara maupun para penduduk. Hal ini dilakukan agar potensi yang ada
pada Cagar Alam Kakenauwe ini dapat dipertahankan bahkan lebih meningkat dari
yang sekarang.
DAFTAR PUSTAKA
Uji,
tahan dkk. 2007. Keanekaragaman Jenis
Tumbuhan Di Cagar Alam Kakenauwe Pulau Buton Sulawesi Tenggara. Jurnal.
Teknologi. Lingkungan. Vol. 8 No. 3 Hal. 261-276.
http://www.bksdalatihan.hol.es/index.php/kawasan-konservasi/2011-08-15-05-52-35/cagar-alam-kakenauwe.
(Diakses tanggal 5
Desember 2015)
http://www.pengertianku.net/2015/05/pengertian-cagar-alam-dan-contohnya.html.
(Diakses tanggal 5
Desember 2015)
http://www.dephut.go.id/uploads/files/cfe4b5645144a2835b71883271cced25.pdf.
(Diakses tanggal 5
Desember 2015)
https://infowanapal.wordpress.com/2011/06/22/potensi-flora-dan-fauna-sulawesi-tenggara/.
(Diakses
tanggal 5 Desember 2015)
http://amcalaskendari.blogspot.co.id/2012/10/cagar-alam-kakenauwe.html.
(Diakses tanggal 5
Desember 2015)
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar secara bijak sesuai topik pembahasan