POTENSI DAN MITIGASI
BENCANA LAUT
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis
limpahkan kehadirat Allah SWT, karena atas pertolongannya_Nya, penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Potensi Dan Mitigasi Bencana Laut” ini
tepat pada waktu yang telah direncanakan. Tak lupa sholawat serta salam Penulis
haturkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat, semoga selalu
dapat menuntun penulis pada ruang dan waktu yang lain.
Dalam
penyelesaian makalah ini tidak jarang penlis menemukan kesulitan-kesulitan.
Akan tetapi, berkat motivasi dan dukungan dari berbagai pihak,
kesulitan-kesulitan itu akhirnya dapat diatasi. Maka dari itu, melalui
kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih sebanyak-banyaknya kepada
berbagai pihak yang telah membantu penulis.
Penulis
menyadari selesainya makalah ini, masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Akhirnya
penulis berharap agar malakah ini bermanfaat bagi pembaca.
Kendari,
1 Maret 2016
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara kepulauan
dengan panjang garis pantai lebih dari 95.000 km dan juga memiliki lebih dari
17.504 pulau. Keadaan tersebut menjadikan Indonesia termasuk
ke dalam Negara yang memiliki kekayaan sumberdaya perairan yang tinggi
dengan sumberdaya hayati perairan yang sangat beranekaragam. Keanekaragaman
sumberdaya perairan Indonesia meliputi sumberdaya ikan maupun sumberdaya
terumbu karang. Terumbu karang yang dimiliki Indonesia luasnya sekitar
7.000 km2 dan memiliki lebih dari 480 jenis karang yang telah
berhasil dideskripsikan. Luasnya daerah karang yang ada menjadikan
Indonesia sebagai Negara yang memiliki kenekaragaman ikan yang tinggi khususnya
ikan-ikan karang yaitu lebih dari 1.650 jenis spesies ikan.
Selain itu, Indonesia juga dikenal oleh
dunia sebagai negara kepulauan terbesar yang memiliki kondisi
konstelasi geografis yang sangat strategis, karena wilayah Indonesia terletak
pada posisi silang dunia yaitu di antara dua benua dan dua samudera (
antara Benua Asia dan Australia serta di antara Samudera Pasifik dan
Hindia), sehingga dengan posisi geografis tersebut menyebabkan laut di
antara pulau-pulau menjadi alur laut yang sangat penting artinya bagi lalu
lintas pelayaran nasional maupun internasional. Disamping itu Indonesia
memiliki 17.499 pulau, dengan luas perairan lautnya mencapai 5,9 juta km2 dan
garis pantai sepanjang 81.000 km2. Kondisi tersebut menjadikan Indonesia
sebagai center of gravity kawasan Asia. Akan tetapi dengan kondisi seperti ini
pula indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia yang
merupakan wilayah teritorial yang sangat rawan terhadap bencana alam.
Keunikan yang lain dimiliki Indonesia
adalah pertemuan dua pegunungan sirkum pasifik dan sirkum mediterania yang
menyebabkan Indonesia berada pada lingkaran bola api ( ring of fire ).
Keadaan ini menyebabkan banyak gunung api aktif yang menyebar di
Indonesia. Sehingga kadang kala pergerakan lempeng ini menyebabkan daerah
Indonesia rentan akan terjadinya bencana di sekitar daerah Indonesia. Bencana
siap datang kapan saja dan tidak dapat dipastikan kapan waktu terjadinya, untuk
itu masyarakat di harapkan agar selalu siap siaga di setiap kegiatan yang
mereka laksanakan.
Klasifikasi bencana terbagi menjadi dua
jenis yakni bencana yang disebabkan oleh alam dan bencana yang disebabkan oleh
non alam.Bencana non alam di Indonesia bisa dikatakan jarang namun bukan
berarti tidak pernah terjadi.Sedangkan bencana alam bisa dikatakan sering
terjadi di beberapa wilayah di Indonesia mulai dari longsor, gempa bumi, gunung
meletus, banjir atau bahkan tsunami.
Kejadian bencana yang
disebutkan diatas beberapa diantaranya adalah bencana akibat
geomorfologis dan bencana kelautan. Namun pada makalah ini akan membahas
mengenai bencana kelautan, yaitu “Potensi Dan Mitigasi Bencana Laut”.
1.2. Rumusan Masalah
Masalah yang akan di bahas dalam
makalah ini adalah:
1.
Apakah
potensi bencana yang dapat terjadi di laut ?
2.
Bagaimanakah
memitigasi bencana yang terjadi di laut ?
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah
untuk mengetahui:
1.
Potensi
bencana yang dapat terjadi di laut.
2.
Memitigasi
bencana yang terjadi di laut.
1.4. Manfaat Penulisan
Manfaat yang diperoleh dari pembuatan
makalah ini adalah:
1.
Menambah
wawasan dan pengetahuan mengenai potensi dan mitigasi bencana laut.
2.
Menyelesaikan
tugas yang diberikan oleh dosen wawasan kemaritiman.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Laut
Laut adalah kumpulan air asin yang
sangat luas yang memisahkan benua yang satu dengan benua yang lainnya, dan juga
memisahkan pulau yang satu dengan yang lainnya. Laut adalah kumpulan air asin
dalam jumlah yang banyak dan luas yang menggenangi dan membagi daratan atas
benua atau pulau. Air laut merupakan campuran dari 96,5% air murni dan 3,5%
material lainnya seperti garam-garaman, gas-gas terlarut, bahan-bahan organik
dan partikel-partikel tak terlarut. Sifat-sifat fisis utama air laut ditentukan
oleh 96,5% air murni (Tahar, 2007).
A. Jenis-Jenis Laut
1. Menurut Proses
Terjadinya
Ada beberapa jenis laut di bumi ini,
dan menurut proses terjadinya kita mengenal adanya Laut Transgresi, Laut
Ingresi, dan Laut Regresi.
a) Laut Transgresi
Laut Transgresi adalah laut yang
terjadi karena adanya perubahan permukaan laut secara positif (secara meluas).
Perubahan permukaan ini terjadi karena naiknya permukaan air laut atau
daratannya yang turun, sehingga bagian-bagian daratan yang rendah tergenang air
laut. Perubahan ini terjadi pada zaman es. Contoh laut jenis ini adalah Laut
Jawa, Laut Arafuru, dan Laut Utara.
b) Laut Ingresi
Laut Ingresi adalah laut yang terjadi
karena adanya penurnan tanah di dasar laut. Oleh karena itu laut ini sering disebut
laut tanah turun. Penurunan tanah di dasar laut akan membentuk lubuk laut dan
palung laut. Lubuk laut atau basin adalah penurunan di dasar laut yang
berbentuk bulat. Contohnya lubuk Sulu, Lubuk Sulawesi, dan Lubuk Karibia.
Sedangkan Palung Laut atau trog adalah penurunan di dasar laut yang bentuknya
memanjang. Contohnya Palung Mindanau yang dalamnya 1.085 m, Palung Sunda yang
dalamnya 7.450 m, dan Palung Mariana yang dalamnya 10.683 (terdalam di dunia).
c) Laut Regresi
Laut Regresi adalah laut yang
menyempit. Penyempitan terjadi karena adanya pengendapan oleh batuan (pasir,
lumpur, dan lain-lain) yang dibawa oleh sungai-sungai yang bermuara di laut
tersebut. Penyempitan laut banyak terjadi di pantai utara pulau Jawa.
2. Menurut Letaknya
Berdasarkan letaknya, Laut dibedakan
menjadi tiga, yaitu Laut Tepi, Laut Pertengahan, dan Laut Pedalaman.
a) Laut Tepi
Laut Tepi adalah laut yang terletak di
tepi benua (kontinen) dan seolah-olah terpisah dari samudera luas oleh daratan
pulau-pulau atau jazirah. Contohnya Laut Cina Selatan dipisahkan oleh kepulauan
Indonesia dan Kepulauan Filipina
b) Laut Pertengahan
Laut Pertengahan adalah laut yang
terletak diantara benua-benua. Lautnya dalam dan mempunyai gugusan pulau-pulau.
Contohnya Laut tengah diantara benua Afrika-Asia dan Eropa.
c) Laut Pedalaman
Laut pedalaman adalah laut-laut yang
hampir seluruhnya dikelilingi oleh daratan. Contohnya Laut Hitam.
3. Menurut Kedalamannya
Dalam kategori ini laut dibedakan
berdasarkan 4 wilayah (zona), yaitu Zona Lithoral, Zona Neritic, Zona Bathyal,
dan Zona Abysal.
a) Zona Lithoral
Zona ini adalah wilayah pantai atau
pesisir. Di wilayah ini pada saat air pasang akan tergenang air, dan pada saat
air surut berubah menjadi daratan. Oleh karena itu wilayah ini sering juga
disebut Wilayah Pasang-Surut.
b) Zona Neritic
Zona Neritic adalah baris batas wilayah
pasang surut hingga kedalaman 150 m. Pada zona ini masih dapat ditembus oleh
sinar matahari sehingga pada wilayah ini paling banyak terdapat berbagai jeni
kehidupan baik hewan maupun tumbuhan.
c) Zona Bathyal
Zona Bathyal adalah wilayah laut yang
memiliki kedalaman antara 150 hingga 1800 m. Wilayah ini tidak dapat
tertembus sinar matahari, oleh karena itu kehidupan organismenya tidak sebanyak
yang terdapat di Wilayah Neritic.
d) Zona Abysal
Zona Abysal adalah wilayah laut yang
memiliki kedalaman lebih dari 1800 m. Di wilayah ini suhunya sangat dingin dan
tidak ada tumbuh-tumbuhan. Jenis hewan yang dapat hidup di wilayah ini sangat
terbatas (softilmu, 2013).
B. Potensi Kekayaan Laut Hayati Dan
Non-hayati Indonesia
Banyak
kajian dan laporan tentang potensi kekayaan laut hayati dan non-hayati
Indonesia telah dipublikasikan mencakup:
a) Lautan Indonesia merupakan wilayah Marine
Mega-Biodiversity terbesar di dunia, memiliki 8.500 species ikan, 555
species rumput laut dan 950 species biota yang berasosiasi dengan ekosistim
terumbu karang
b) Laut Indonesia dan selat-selatnya merupakan alur
transportasi Internasional yang ramai, menghubungkan antara Benua Asia, pantai
Barat Amerika dan Benua Eropa
c) Tiga lempeng tektonik (lempeng Eurasia; Indo-Australia dan
Lempeng Pasifik), bertemu di wilayah Indonesia. Pertemuan lempeng tektonik
tersebut memicu terjadinya gunung api, serta gempa bumi. Secara bersamaan,
keadaan ini merupakan prasyarat pembentukan sumberdaya mineral, minyak bumi dan
gas di darat maupun laut
d) Arus laut dari Samudera Pasifik melewati Kepulauan Indonesia
menuju Samudera Hindia. Karakteristik oseanografi khas Indonesia merupakan
indikator muncul dan lenyapnya El-nino dan La-nina, yang mempengaruhi perubahan
iklim global, dan berdampak pada kemarau panjang, banjir, gagal panen,
kebakaran hutan serta naik turunnya produksi perikanan (Siregar, 2015).
2.2. Bencana Laut
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat
yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana dibagi ke
dalam tiga kategori yaitu:
a) Bencana alam adalah
bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang
disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus,
banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
b) Bencana nonalam
adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam
yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah
penyakit.
c) Bencana sosial adalah
bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar
kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror (UU RI No 24 Tahun 2007).
Untuk keperluan Mengelola Risiko
Bencana di negara Maritim Indonesia dipakai klasifikasi dan pengelompokan
bencana sebagai berikut:
a) Bencana Kebumian yang
meliputi: gempa bumi; tsunami; letusan volkanik dan gejala-gejala ”sekunder”
seperti lahar dan sebagainya; tanah longsor; gerakan tanah yang relatif lebih
lambat dari proses terjadinya tanah longsor, tetapi dalam skala jauh lebih
besar.
b) Bencana Kelautan
seperti gelombang pasang (rob), gelombang pasang disertai tiupan angin dan
hujan (storm surges), kenaikan muka laut (akibat pemanasan global, dan
sebagainya), badai di laut atau di wilayah pantai (di sini terjadi percampuran
antara masalah kelautan dan masalah atmosferik, karena memang kaitan antara
gejala atmosferik dan gejala kelautan itu sangat erat).
c) Bencana Atmosferik,
yaitu perubahan di atmosfer yang berjalan sangat cepat dan dalam beberapa jam
atau hari berubah menjadi badai besar, puting-beliung (tornado), angin ribut,
dan banjir, yaitu meluapnya air sungai melebihi kapasitas bumi menyerapnya atau
volume air melampaui tanggul-tanggul yang dibangun di sisi sungai.
d) Bencana buatan manusia atau bencana
industri (kebakaran dan ledakan di pabrik petro-kimia; truk besar mengangkut
bahan kimia terguling, terbakar dan meledak; jebolnya bendungan; letusan
reaktor nuklir pembangkit listrik; bocornya pabrik kimia dan sebagainya (
Anonim, 2009)
2.3. Mitigasi Bencana
Mitigasi
adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui
pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi
ancaman bencana (UU No 4 Tahun 2008).
Mitigasi bencana merupakan langkah yang
sangat perlu dilakukan sebagai suatu titik tolak utama dari manajemen bencana.
Sesuai dengan tujuan utamanya, yaitu mengurangi dan/atau meniadakan korban dan
kerugian yang mungkin timbul, maka titik berat perlu diberikan pada tahap sebelum
terjadinya bencana, yaitu terutama kegiatan penjinakan/peredaman atau dikenal
dengan istilah mitigasi. Mitigasi pada prinsipnya harus dilakukan untuk segala
jenis bencana, baik yang termasuk ke dalam bencana alam (natural disaster)
maupun bencana sebagai akibat dari perbuatan manusia (man-made disaster).
Mitigasi pada umumnya dilakukan dalam rangka mengurangi kerugian akibat
kemungkinan terjadinya bencana, baik itu korban jiwa dan/atau kerugian harta
benda yang akan berpengaruh pada kehidupan dan kegiatan manusia. Untuk
mendefenisikan rencana atau strategi mitigasi yang tepat dan akurat perlu
dilakukan kajian resiko (risk assessment) (BAKORNAS PBP, 2002).
Ada empat hal penting dalam mitigasi
bencana, yaitu :1) tersedia informasi dan peta kawasan rawan bencana untuk tiap
jenis bencana; 2) sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran
masyarakat dalam menghadapi bencana, karena bermukim di daerah rawan bencana;
3) mengetahui apa yang perlu dilakukan dan dihindari, serta mengetahui cara
penyelamatan diri jika bencana timbul, dan 4) pengaturan dan penataan kawasan
rawan bencana untuk mengurangi ancaman bencana ( Peraturan Menteri Dalam
Negeri, 2006).
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Potensi Bencana Yang
Dapat Terjadi Di Laut
3.1.1 Pengertian Bencana
Laut
Bencana laut adalah bencana alam yang
berasal dari laut, lingkungan normal atau perubahan drastis alam laut,
sehingga di zona pesisir terjadi di laut atau serius membahayakan masyarakat,
ekonomi dan peristiwa-peristiwa kehidupan serta properti.
3.1.2 Jenis Jenis Bencana
Yang Dapat Terjadi Di Laut
1. Tsunami
Tsunami
adalah serangkaian gelombang panjang yang timbul karena adanya perubahan dasar
laut atau perubahan badan air yang terjadi secara tiba-tiba dan impulsif, akibat
gempa bumi, erupsi gunung api bawah laut, longsoran bawah laut, ekstrusi gas
dari volcanic mud, runtuhan gunung es, ledakan nuklir, bahkan akibat terjangan
benda-benda angkasa luar ke permukaan laut.
2. Gelombang Badai
Gelombang
badai Yaitu Gelombang yang terbentuk oleh angin yang sangat kuat Dengan
Kecepatan angin lebih dari 91 Km/jam, Tinggi gelombang 7
meter – 30 meter, Berbahaya bagi pelayaran dan pemukiman /bangunan di pantai
serta Dapat menyebabkan abrasi pantai. Contoh : Badai, typhoon / hurricane, La
Nina, El nino
3. Kenaikan Permukaan
Laut
Kenaikan
permukaan laut adalah suatu peristiwa yang menimbulkan naiknya permukaan air
laut ke pesisir pantai kerena beberapa faktor.
4. El nina dan La nina
El-Nino
adalah fenomena dimana terjadi peningkatan suhu permukaan laut yang biasanya
dingin yang menyebabkan upwelling dan biasaya kita indikasikasikan dengan
kekeringan pada daerah tersebut dan La-Nina adalah fenomena dimana terjadi
pendingginan suhu permukaan laut akibat menguatnya upwellig dan biasanya kita
indikasikan dengan banjir pada daerah tersebut.
5. Banjir
Banjir
adalah debit aliran air sungai yang secara relatif lebih besar dari
biasanya/normalnya akibat hujan yang turun di hulu atau di suatu tempat
tertentu secara terus menerus, sehingga tidak dapat ditampung oleh alur sungai
yang ada, maka air melimpah keluar dan menggenangi daerah sekitarnya. Selain
air sungai, banjir juga dapat terjadi karena aliran air yang berasal dari laut
karena adanya bencana badai atau tsunami.
6. Abrasi Pantai
Yaitu
Pengikisan (erosi) pantai oleh pukulan gelombang laut yang terus menerus
terhadap dinding pantai. Hingga saat ini luas areal yang hilang dari Brebes
hingga Rembang mencapai lebih 4.000 (ha). Rata-rata daratan yang terseret
arus laut 5-30 meter per tahun. Abrasi itu mengakibatkan rusak dan hilangnya
hutan bakau (mangrove), perkebunan rakyat, areal pertambakan, dan
permukiman penduduk yang berada di bibir pantai. (WWF).
3.2. Mitigasi Bencana Yang
Terjadi Di Laut
3.2.1. Bencana
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat
yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau non-alam maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
A. Jenis Bencana
1. Bencana Alam
Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa
bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah
longsor
2. Bencana non‐Alam
Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal
modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
3. Bencana Sosial
Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
atau rangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik
sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.
B. Mitigasi Bencana
Metigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
1. Bentuk mitigasi :
• Mitigasi struktural: membuat chekdam, bendungan, tanggul sungai, rumah tahan gempa, dll.
• Mitigasi non-struktural: peraturan perundang undangan, pelatihan, dll.
2. Penanganan bencana
• Kesiapsiagaan
Serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna (UU 24/2007). Misalnya: Penyiapan sarana komunikasi, pos komando, penyiapan lokasi evakuasi, Rencana Kontinjensi, dan sosialisasi peraturan / pedoman penanggulangan bencana.
• Tanggap Darurat (response)
Upaya yang dilakukan segera pada saat kejadian bencana, untuk menanggulangi dampak yang ditimbulkan, terutama berupa penyelamatan korban dan harta benda, evakuasi dan pengungsian.
• Bantuan Darurat (relief)
Merupakan upaya untuk memberikan bantuan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar berupa :
- pangan,
- sandang
- tempat tinggal sementara
- kesehatan, sanitasi dan air bersih
• Pemulihan (recovery)
Proses pemulihan darurat kondisi masyarakat yang terkena bencana, dengan memfungsikan kembali prasarana dan sarana pada keadaan semula. Upaya yang dilakukan adalah memperbaiki prasarana dan pelayanan dasar (jalan, listrik, air bersih, pasar puskesmas, dll).
• Rehabilitasi (rehabilitation)
Upaya langkah yang diambil setelah kejadian bencana untuk membantu masyarakat memperbaiki rumahnya, fasilitas umum dan fasilitas sosial penting, dan menghidupkan kembali roda perekonomian.
• Rekonstruksi (reconstruction)
• Program jangka menengah dan jangka panjang guna perbaikan fisik, sosial dan ekonomi untuk mengembalikan kehidupan masyarakat pada kondisi yang sama atau lebih baik dari sebelumnya.
3.2.2. Mitigasi Bencana Laut
Indonesia terletak pada zona batas
empat lempeng bumi yang sangat aktif sehingga memiliki aktivitas tektonik dan
vulkanik yang sangat tinggi, oleh karena itu Indonesia mempunyai banyak
zona-zona patahan aktif dan sebaran gunung api. Sebagian patahan dan gunung api
berada di bawah laut sehingga kejadian gempa dan letusan gunung apinya
berpotensi membangkitkan tsunami. Selain dua sumber utama tsunami ini,
peristiwa longsoran bawah laut yang sering dipicu oleh kejadian gempa dan
letusan gunung api juga dapat menimbulkan tsunami.
Tsunami adalah serangkaian gelombang
panjang yang timbul karena adanya perubahan dasar laut atau perubahan badan air
yang terjadi secara tiba-tiba dan impulsif, akibat gempa bumi, erupsi gunung
api bawah laut, longsoran bawah laut, ekstrusi gas dari volcanic mud, runtuhan
gunung es, ledakan nuklir, bahkan akibat terjangan benda-benda angkasa luar ke
permukaan laut. Kecepatan tsunami bergantung pada kedalaman perairan, akibatnya
gelombang tersebut mengalami percepatan atau perlambatan sesuai dengan
bertambah atau berkurangnya kedalaman perairan. Dengan proses ini arah
pergerakan arah gelombang juga berubah dan energi gelombang bisa menjadi
terfokus atau juga menyebar. Di perairan dalam, tsunami mampu bergerak dengan
kecepatan 500 sampai 1000 kilometer per jam. Sedangkan di perairan dangkal,
kecepatannya melambat hingga beberapa puluh kilometer per jam, demikian juga
ketinggian tsunami juga bergantung pada kedalaman perairan. Amplitudo tsunami
yang hanya memiliki ketinggian satu meter di perairan dalam bisa meninggi
hingga puluhan meter di garis pantai.
Berdasarkan sumber dan jarak
pembangkitannya tsunami dapat dibagi menjadi tsunami jarak jauh (far-field
tsunami) yang posisi sumbernya berjarak lebih dari 1000 km dan melewati pinggiran
paparan benua, tsunami regional (regional tsunami) dengan sumber berjarak
antara 100 km sampai dengan 1000 km dan tsunami lokal (near field tsunami) yang
dibangkitkan di dalam paparan benua dengan jarak sumber kurang dari 100 km..
Bahaya tsunami dan kerusakan yang ditimbulkan tergantung pada kondisi morfologi
pantai yang didatanginya. Elevasi maksimum rayapan bergantung pada paras muka
laut (pasut) saat waktu tsunami mencapai pantai, tsunami kecil yang
terjadi pada saat pasang tinggi dapat menjangkau elevasi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan tsunami yang lebih besar yang tiba pada saat surut
terendah. Kondisi pasut sangat penting untuk dikaji dan dipertimbangkan dalam
menganalisis tinggi jangkauan rayapan tsunami di suatu daerah.
Kerusakan dan kehancuran karena tsunami
merupakan hasil langsung dari terjangan gelombang dan arus tsunami, sementara
korban jiwa muncul karena tenggelam dalam golakan tsunami. Arus kuat juga
menyebabkan terjadinya erosi pada kaki pondasi dan rubuhnya jembatan, menyeret
rumah dan membalikkan kendaraan. Kerusakan yang cukup parah juga disebabkan
oleh puing-puing bangunan yang mengapung termasuk kapal, mobil dan pepohonan
yang dapat menjadi benda-benda berbahaya ketika menghantam gedung, dermaga dan
kendaraan. Kerusakan ikutan lainnya berupa kobaran api yang berasal dari
tumpahan minyak atau ledakan dari kapal yang hancur di pelabuhan, pecahnya
tempat penyimpanan minyak di pantai dapat menimbulkan kerusakan yang terkadang
lebih parah daripada dampak langsung gelombang tsunami. Bahaya ikutan lainnya
dapat disebabkan oleh polusi kotoran dan bahan kimia yang terangkut oleh
tsunami dan mencemari sumber air bersih.
Mitigasi bencana didefinisikan secara
umum bahwa segala upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan
oleh suatu bencana, baik sebelum, saat atau setelah terjadinya suatu bencana.
Untuk menghindari bencana tsunami perlu upaya untuk tidak mempertemukan unsur
bahaya dan kerentanan dengan cara: (i) Menjauhkan kerentanan terhadap bahaya,
misalnya memindahkan penduduk ke tempat yang aman dari bahaya; (ii) Mereduksi
bahaya sampai sekecil mungkin, sehingga bahaya tidak menerjang suatu
kerentanan, misalnya pembangunan tembok penahan tsunami. Kedua opsi ini
terkadang sangat sulit untuk dilakukan karena menimbulkan permasalahan sosial
serta memerlukan biaya tinggi; kemudian (iii) Mereduksi bahaya serta menaikan
kapasitas dari suatu kerentanan dengan cara adaptif atau akomodatif menggunakan
menejemen risiko bencana.
Penerapan menajemen risiko bencana ini
perlu dilakukan secara sistimatis melalui kebijakan administratif, organisasi,
kemampuan dalam operasional, strategi dan implementasi serta kemampuan
masyarakat untuk menghadapi bencana sehingga dapat mengurangi dampak bahaya
yang ditimbulkannya. Menejemen risiko bencana ini mengkaji seluruh aktivitas
baik dalam penanganan struktural (structural measures) maupun non-struktural
(nonstructural measures) untuk menghindarkan (preventif) atau untuk mengurangi
(mitigasi dan preparedness) efek yang ditimbulkan oleh bahaya tsunami. Penanganan
struktural untuk tsunami meliputi sistem perlindungan pantai dengan membangun
tembok penahan ombak berupa breakwater, seawall, dan pintu air yang dikenal
sebagai hard protection, dan perlindungan dengan menggunakan vegetasi pantai
(mangrove dan coastal forest), sand dune dan terumbu karang atau dikenal sebagi
soft protection. Selanjutnya untuk penanganan non-struktural meliputi:
undang-undang dan peraturan pemerinatah; penegakan hukum; organisasi pemerintah
dan non pemerintah yang terkait dengan penanganan bencana (PMI, ambulans dan
tenaga medis, pemadam kebakaran, Karang Taruna dan lain lain); penyediaan peta
bahaya dan risiko tsunami, serta peta jalur evakuasi; konsep penataan ruang
yang akrab bencana tsunami, sistem peringatan dini (TEWS), pendidikan
masyarakat, serta penyiapan fasilitas-fasilitas penyangga hidup (life line).
Dengan uraian dan penjelasan tentang
tingginya frekuensi tsunami menerjang pesisir Indonesia serta besarnya kerugian
yang ditimbulkan baik jiwa manusia maupun harta benda, serta tata cara kajian
risiko dan mitigasinya, maka diharapkan kepada pemerintah pusat, pemerintah
daerah, kalangan industri dan masyarakat umum, secara sistimatis, komprehensif,
terarah dan lebih terpadu dapat:
1) Meningkatkan
kewaspadaan terhadap risiko bahaya tsunami di tingkat masyarakat dan serta
memperkenalkan tindakan lokal yang perlu diambil untuk mengurangi risiko yang
ditimbulkannya.
2) Merangsang
kewaspadaan para perencana baik di tingkat nasional dan maupun lokal untuk
mengimplementasikan perencanaan pembangunan nasional yang akrab bencana
tsunami, khususnya di daerah-daearah rawan bencana tsunami.
3) Membantu politisi,
pemerintah, serta penentu kebijakan untuk memahami sifat dari jenis risiko yang
dihadapi oleh komunitas serta membantu memahami dampak yang ditimbulkannya.
4) Mendemonstrasikan
cara dan arti dalam mengurangi risiko-risiko tersebut, pada lingkup nasional
dan lokal, melalui keputusan serta perencanaan yang tepat.
gelombang badai terjadi menyusul
terjadinya badai atau tiupan angn yang sangat kencang di lautan (fenomena
meteorologi), tinggi gelombangnya dapat mencapai belasan meter di daerah dekat
sumber angin, dan gelombang terus berlangsung selama angin bertiup dan reda
bersama dengan redanya tiupan angin. Berkaitan dengan mekanisme pencetusannya,
fenomena gelombang badai ini hanya terjadi pada waktu-waktu tertentu yang
berkaitan dengan musim angin tertentu, dan hanya akan melanda lokasi-lokasi
tertentu pula.
Fenomena gelombang badai muncul
berkaitan dengan fenomena meteorologi berupa tiupan angin yang kemungkinan
waktu terjadinya relatif teratur sepanjang tahun sesuai dengan perubahan musim.
Dengan demikian, prediksi atau peringatan dini akan terjadinya gelombang badai
lebih mudah dilakukan dari pada prediksi atau peringatan dini tsunami.
Mengenai sifat merusak dari gelombang
badai ini, kemampuan merusak dari gelombang badai memang kecil bila
dibandingkan dengan tsunami seperti yang melanda Propinsi Nagroe Aceh
Darussalam pada 26 Desember 2004. Meskipun demikian, untuk kondisi tertentu di
suatu tempat tertentu, gelombang badi bisa cukup kuat, seperti yang terjadi
pada 11 Juni 2007 di Pantai Nobbys, Newcastle, Australia. Gelombang badai yang
terjadi di kawasan pesisir itu mampu mengkandaskan kapal yang memuat batubara
seberat 30.000 ton ke pantai
Meningkatnya emisi gas-gas rumah kaca
seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan
chlorofluorokarbon (CFC) ke atmosmer bumi telah menimbulkan efek rumah kaca
(green house effect) yang menyebabkan terperangkapnya radiasi matahari yang
dipantulkan oleh permukaan bumi di dalam atmosfer, mengakibatkan temperatur
permukaan bumi dan atmosfer terus bertambah sampai mencapai keseimbangan baru.
Jumlah panas yang masuk dan keluar atmosfer tidak berubah, tetapi jumlah panas
yang tersimpan di bumi dan atmosfer semakin meningkat sehingga menaikkan
temperatur permukaan bumi dan atmosfer. Temperatur rata-rata permukaan Bumi
adalah sekitar 15 °C. Selama seratus tahun terakhir, temperatur rata-rata ini
telah meningkat sebesar 0,6 °C. IPCC (2001) memperkirakan pemanasan global
dapat menaikkan temperatur pemukaan bumi hingga 1,4 – 5,8 °C pada tahun 2100.
Kenaikan temperatur ini akan mengakibatkan mencairnya es di kutub dan menghangatkan
lautan, yang mengakibatkan meningkatnya volume lautan yang pada tahun 2100
diperkirakan akan menaikkan permukaan laut dunia sekitar 9 – 88 cm. IPCC (2007)
menyatakan sejak tahun 1961 sampai dengan 1993 permukaan laut dunia telah
mengalami kenaikan dengan laju rata-rata 1,8 mm/tahun (1,3 – 2,3 mm/tahun).
Sejak tahun 1993 sampai dengan 2003 kenaikan permuka laut rata-rata 3,1
mm/tahun (2,4 – 3,8 mm/tahun). Berdasarkan penelitian yang dilakukan WWF, di
Indonesia telah terjadi peningkatan suhu 0,3 °C sejak tahun 1990 dan skenario
perubahan iklim yang dilakukan WWF Indonesia dan IPCC (1999) melaporkan bahwa
suhu di Indonesia akan mengalami kenaikan sebesar 1,3 °C sampai 4,6 °C pada
tahun 2100 dengan laju kenaikan 0,1 °C sampai 0,4 °C yang akan meningkatkan
kenaikan permukaan laut di Indonesia sebesar 20 – 100 cm dalam 100 tahun.
Pemanasan global diperkirakan
memberikan pengaruh yang signifikan pada kenaikan muka air laut di abad ke-20
ini. Dampak fisis akibat kenaikan permukaan laut antara lain meningkatnya
frekuensi dan intensitas banjir karena efek pembendungan oleh adanya kenaikan
permukaan laut. Pembendungan ini mengakibatkan kecepatan aliran sungai di muara
semakin berkurang dan laju sedimentasi di muara akan bertambah yang akan
mengakibatkan pendangkalan di muara. Pendangkalan muara dan naiknya permukaan
laut akan meningkatkan frekuensi dan intensitas banjir di daerah di sekitar
muara sungai. Naiknya permukaan laut akan mengakibatkan mundurnya garis pantai
akibat tergenangnya wilayah pesisir yang landai, hilangnya daerah rawa dan
meningkatnya erosi pantai. Erosi wilayah pesisir akan diperbesar karena
gelombang dapat masuk jauh ke arah darat akibat naiknya permukaan laut.
Kenaikan permukaan laut bahkan dapat menenggelamkan pulau-pulau kecil. Intrusi
air laut ke darat juga merupakan masalah serius bagi daerah pesisir. Adanya
pemanfaatan air tanah yang tidak memperhitungkan keseimbangan mengakibatkan
turunnya permukaan air tanah yang akan memudahkan terjadinya intrusi air laut
kedalam air tanah. Kenaikan permukaan laut juga mengakibatkan volume air laut
yang mendesak masuk ke dalam sungai akan semakin besar. Air laut yang mendesak
masuk jauh ke darat melalui sungai ini merupakan masalah bagi wilayah pesisir
yang menggantungkan air bakunya dari sungai. Terjadinya kenaikan paras muka
laut juga berdampak terhadap keamanan bangunan pantai yang ada. Kenaikan paras
muka laut meningkatkan tinggi gelombang dan akan memperbesar frekuensi
overtopping bangunan pantai sehingga tingkat keamanan bangunan pantai menjadi
berkurang. Kenaikan permukaan laut juga berdampak pada ekosistem pantai akibat
kenaikan salinitasr air laut. Kenaikan salinitas air laut yang terjadi akibat
kenaikan permukaan laut akan mengakibatkan mangrove bermigrasi ke arah darat ke
daerah yang kurang asin. Spesies yang tidak tahan akan salinitas yang tinggi
akan mati. Untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana alam termasuk
naiknya permukaan laut perlu dilakukan upaya mitigasi. Mitigasi dapat dilakukan
baik secara fisik (struktural) maupun secara non-fisik (nonstruktural).
Pendekatan fisik dilakukan melalui upaya teknis, baik buatan maupun alami,
sedangkan pendekatan non-fisik menyangkut penyesuaian dan pengaturan kegiatan
manusia agar sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi baik fisik maupun upaya
lainnya.
Dalam usaha untuk memperkecil dampak
dari kenaikan permukaan laut terdapat tiga strategi adaptif yaitu: retreat
(mundur), accomodation (akomodasi) dan protection (proteksi). Strategi mundur
adalah meninggalkan daerah yang rentan genangan akibat kenaikan permukaan laut
dan melakukan kembali penataan ruang, strategi akomodasi adalah melakukan
adaptasi terhadap perubahan lingkungan akibat genangan misalnya dengan membuat
rumah panggung, memodifikasi drainase dan lain lain, sementara strategi
proteksi adalah tindakan defensif untuk melindungi daerah pesisir terhadap
rendaman, intrusi air laut dan hilangnya sumber daya alam akibat naiknya
permukaan air laut. Strategi proteksi dilakukan dengan membangun tanggul
(dikes) atau dinding pelindung pantai (seawall)
Kenaikan permukaan laut tidak hanya
diakibatkan oleh pemanasan global tetapi juga oleh faktor-faktor lain seperti
pasang surut, turunnya permukaan tanah (land subsidence), gelombang badai
(storm surge) atau gelombang badai pasang (storm tide), La Nina, dan tsunami.
Upaya mitigasi bencana akibat kenaikan permukaan laut yang disebabkan oleh
faktor-faktor diatas perlu dilakukan oleh Pemerintah Daerah setiap provinsi
dengan cara menyiapkan peta kerentanan dan peta risiko rendaman akibat kenaikan
permukaan laut.
D. El-Nino dan La-Nina
El-Nino, menurut sejarahnya adalah
sebuah fenomena yang teramati oleh para penduduk atau nelayan Peru dan Ekuador
yang tinggal di pantai sekitar Samudera Pasifik bagian timur menjelang hari
natal (Desember). Fenomena yang teramati adalah meningkatnya suhu permukaan
laut yang biasanya dingin. Fenomena ini mengakibatkan perairan yang tadinya
subur dan kaya akan ikan (akibat adanya upwelling atau arus naik permukaan yang
membawa banyak nutrien dari dasar) menjadi sebaliknya.. Di kemudian hari para
ahli juga menemukan bahwa selain fenomena menghangatnya suhu permukaan laut,
terjadi pula fenomena sebaliknya yaitu mendinginnya suhu permukaan laut akibat
menguatnya upwelling. Kebalikan dari fenomena ini selanjutnya diberi nama
La-Nina.
Fenomena ini memiliki periode 2-7
tahun. Jadi berdasarkan hal diatas dapat kita memberi pengertian bahwa yang
dimaksud dengan El-Nino adalah fenomena dimana terjadi peningkatan suhu
permukaan laut yang biasanya dingin yang menyebabkan upwelling dan biasaya kita
indikasikasikan dengan kekeringan pada daerah tersebut dan La-Nina adalah
fenomena dimanaterjadi pendingginan suhu permukaan laut akibat menguatnya
upwellig dan biasanya kita indikasikan dengan banjir pada daerah tersebut.
Ketika
Peru mengalami musim panas, arus laut dingin Humbolt tergantikan oleh arus laut
panas. Kuatnya penyinaran oleh sinar matahari pada perairan di Pasifik Tengah
dan Timur menyebabkan meningkatnya suhu dan kelembapan udara pada atmosfer
sehingga tekanan udara di Pasifik Tengah dan Timur menjadi rendah. Hal ini
diikuti oleh kemunculan awan-awan konvektif, atau awan yang terbentuk oleh
penyinaran matahari yang kuat.
Di
sisi lain, di bagian Pasifik Barat awan sulit terbentuk. Daerah Pasifik Barat
contohnya adalah Indonesia, yang pada dasarnya cuacanya dipengaruhi oleh angin
muson, angin pasat, dan angin lokal walaupun sebenarnya pengaruh angin muson
yang lebih kuat berasal dari daratan Asia. Oleh karena sifat udara adalah
bergerak dari tekanan udara tinggi ke tekanan udara rendah, udara dari Pasifik
Barat akan bergerak ke Pasifik Tengah dan Timur. Hal ini menyebabkan awan
konvektif di atas Indonesia bergeser ke Pasifik tengah dan Timur.
Pada
La Nina, atau kebalikan dari El Nino, fenomena tersebut terjadi saat permukaan
laut di Pasifik Tengah dan Timur suhunya lebih rendah dari biasanya pada
waktu-waktu tertentu. Kemudian, tekanan udara di kawasan Pasifik Barat jadi
menurun yang memungkinkan terbentuknya awan. Sebagai akibatnya, tekanan udara
di Pasifik Tengah dan Timur menjadi tinggi sehingga proses pembentukan awan
terhambat.
Gambar : proses la nina |
Sementara
itu, di bagian Pasifik Barat, misalnya di Indonesia, tekanan udara menjadi
rendah sehingga mudah terbentuk awan cumulus nimbus. Awan ini
menimbulkan turunnya hujan lebat yang disertai petir. Seperti yang disebutkan
sebelumnya, sifat udara yang bergerak dari tekanan udara tinggi ke tekanan
udara rendah menyebabkan udara dari Pasifik Tengah dan Timur bergerak ke
Pasifik Barat. Hal ini menyebabkan awan konvektif di atas Pasifik Tengah dan
Timur bergeser ke Pasifik Barat.
Dampak El Nino dan La Nina di
Indonesia
Dampak
yang paling nyata dari fenomena El Nino adalah kekeringan di Indonesia yang
menyebabkan langkanya air di sejumlah daerah dan kemudian berakibat pada
penurunan produksi pertanian karena tertundanya masa tanam. Selain itu,
meluasnya kebakaran hutan yang terjadi di beberapa wilayah di Kalimantan dan
Sumatera juga diindikasikan sebagai salah satu dampak dari fenomena El Nino
tersebut. Untuk La Nina, dampak yang paling terasa adalah hujan deras yang juga
menyebabkan gagal panen pada pertanian karena sawah tergenang.
Ada
juga keuntungan dari El Nino, yaitu bergerak masuknya ikan tuna yang berada di
Samudera Hindia ke selatan Indonesia. Hal itu terjadi karena perairan di timur
samudera mendingin, sedangkan yang berada di barat Sumatera dan selatan Jawa
menghangat. Akibat proses ini, Indonesia mendapat banyak ikan tuna, sebuah
berkah yang perlu dimanfaatkan.
Cara
Penanggulangan atau mitigasi El-Nino dan La-Nina
Seperti yang kita ketahui bahwa El-Nino
bukan gejala yang disebabkan oleh ulah manusia El-Nino adalah peristiwa alam.
Oleh sebab itu El-Nino tidak bisa dicegah maupun dihentikan, maka kita hanya
bisa mencoba mengurangi dampak yang dihasilkan oleh El-Nino. Oleh sebab itu,
tindakan yang dapat dilakukan untuk beradaptasi dengan El-Nino adalah dengan
memberikan pendidikan dan pelatihan kepada masyarakat dari jauh-jauh hari.
Selain itu pemerintah juga harus mempersiapkan segala upaya untuk mencegah besarnya
akibat yang dihasilkan oleh El-Nino, seperti membuat gerakan hemat air karena
El-Nino bisa membuat kemarau yang berkepanjangan, mengatur tata penggunaan air,
irigasi, termasuk ketersediaan air di waduk-waduk, dll.El-Nino juga bisa
mengancam kehidupan nelayan tradisional di Indonesia. Menurut yang saya baca
dari beberapa situs internet mengatakan bahwa para nelayan hanya bisa pasrah
dan menunggu El-Nino berlalu karena mereka tidak mempunyai alat yang memadai
untuk menangkap ikan.
Untuk menggulangi La-Nina hal yang
harus dilakukan adalah pembuatan waduk, restorasi / reboisasi hutan yang gundul
untuk memperluas resapan air, dan penertiban pembuangan sampah di daerah sungai
Banjir adalah debit aliran air sungai
yang secara relatif lebih besar dari biasanya/normal akibat hujan yang turun di
hulu atau di suatu tempat tertentu secara terus menerus, sehingga tidak dapat
ditampung oleh alur sungai yang ada, maka air melimpah keluar dan menggenangi
daerah sekitarnya. Selain air sungai banjir juga dapat terjadi karena aliran
air yang berasal dari laut karena adanya bencana badai atau tsunami.
Teknik pengendalian banjir harus dilakukan secara
komprehensip pada daerah yang rawan terkena banjir dan daerah pemasok air
banjir. Prinsip dasar pengendalian daerah kebanjiran secara teknis dilakukan
dengan meningkatkan dimensi palung sungai sehingga aliran air yang lewat tidak
melimpah keluar dari palung sungai, manajemen yang bisa dilakukan adalah dengan
membuat tanggul sungai yang memadai serta membuat waduk atau tandon air untuk
mengurangi banjir puncak. Untuk memenuhi kapasitas tampung palung sungai, upaya
lain yang bisa dilakukan seperti menambah saluran pembuangan air dengan saluran
sudetan (banjir kanal atau floodway). Disamping itu, pengetatan larangan
penggunaan lahan di bantaran sungai untuk bangunan, apalagi di badan sungai
juga diperlukan, serta larangan pembuangan sampah ke sungai atau saluran
drainase. Berdasarkan KepPres No. 32/1990 dan PP No. 47/1997, sempadan sungai yang
harus merupakan kawasan lindung adalah lebar minimum dari bibir kiri-kanan
sungai ke arah darat yang berada : di luar pemukiman : 100 m, anak sungai : 50
m, daerah pemukiman : 10 – 15 m, bertanggul (dari tepi luar tanggul) : 5 m
Teknik pengendalian banjir
di daerah kebanjiran umumnya dilakukan oleh Departemen Pekerjaan Umum beserta
institusi vertikalnya. Sedangkan teknik pengendalian banjir di daerah tangkapan
air bertumpu pada prinsip penurunan koefisien limpasan melalui teknik
konservasi tanah dan air, yakni : (1) upaya meningkatkan resapan air hujan yang
masuk ke dalam tanah, (2) dan mengendalikan limpasan air permukaan pada pola
aliran yang aman. Bentuk teknik yang diaplikasikan dapat berupa teknik sipil,
vegetatif, kimiawi, maupun kombinasi dari ketiganya, sesuai dengan jenis
penggunaan lahan dan karakteristik tapak (site) setempat. Semua upaya tersebut
sangat terkait dengan kemampuan tanah/lahan dalam mengendalikan air hujan untuk
bisa masuk ke dalam bumi, termasuk vegetasi/hutan yang ada di atasnya. Jenis
tanaman hutan yang sama dimana yang satu tumbuh di atas lapisan tanah tebal dan
satunya lagi di atas lapisan tanah tipis, akan memiliki dampak yang berbeda
dalam mengendalikan limpasan air permukaan atau banjir.
Secara
lebih rinci upaya pengurangan bencana banjir antara lain:
1) Pengawasan penggunaan
lahan dan perencanaan lokasi untuk menempatkan fasilitas vital yang rentan
terhadap banjir pada daerah yang aman.
2) Penyesuaian
desain bangunan di daerah banjir harus tahan terhadap banjir dan dibuat
bertingkat.
3) Pembangunan
infrastruktur harus kedap air.
4) Pembangunan tembok
penahan dan tanggul di sepanjang sungai, tembok laut sepanjang pantai yang
rawan badai atau tsunami akan sangat membantu untuk mengurangi bencana banjir.
5) Pengaturan kecepatan
aliran air permukaan dan daerah hulu sangat membantu mengurangi terjadinya
bencana banjir. Beberapa upa ya yang perlu dilakukan untuk mengatur kecepatan
air masuk kedalam sistem pengaliran diantaranya adalah dengan pembangunan
bendungan/ waduk, reboisasi dan pembangunan sistem peresapan.
6) Pengerukan sungai,
pembuatan sudetan sungai baik secara saluran terbuka maupun dengan pipa atau
terowongan dapat membantu mengurangi resiko banjir.
7) Pembuatan tembok
penahan dan tembok pemecah ombak untuk mengurangi energi ombak jika terjadi
badai atau tsunami untuk daerah pantai.
8) Memperhatikan
karakteristik geografi pantai dan bangunan pemecah gelombang untuk daerah
teluk.
9) Pembersihan sedimen.
10) Pembangunan pembuatan
saluran drainase.
11) Peningkatan
kewaspadaan di daerah dataran banjir.
12) Desain bangunan rumah
tahan banjir (material tahan air, fondasi kuat).
13) Pelatihan pertanian
yang sesuai dengan kondisi daerah banjir.
14) Meningkatkan
kewaspadaan terhadap penggundulan hutan.
15) Pelatihan tentang
kewaspadaan banjir seperti cara penyimpanan/pergudangan perbekalan, tempat
istirahat/ tidur di tempat yang aman (daerah yang tinggi).
16) Persiapan evakuasi
bencana banjir seperti perahu dan alat - alat penyelamatan lainnya.
Secara detail penyebab abrasi pantai
dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Penurunan Permukaan
Tanah. (Land Subsidence)
Pemompaan Air tanah yang berlebihan
untuk keperluan industri dan air minum di wilayah pesisir akan menyebabkan
penurunan tanah terutama jika komposisi tanah pantai sebagian besar terdiri
dari lempung/lumpur karena sifat-sifat fisik lumpur /lepung yang mudah berubah
akibat perubahan kadar air. Akibat penurunan air tanah adalah berkurangnya
tekanan air pori. Hal ini mengakibatkan penggenangan dan pada gilirannya
meningkatkan erosi dan abrasi pantai. Hal ini menunjukkan bahwa potensi
penurunan tanah cukup besar dan memberikan kontribusi terhadap genangan (rob)
pada saat air laut pasang.
2. Kerusakan Hutan
Mangrove
Hutan Mangrove merupakan sumberdaya
yang dapat pulih (sustaianable resources) dan pembentuk ekosistem utama
pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir. Mangrove memiliki peran
penting sebagai pelindung alami pantai karena memiliki perakaran yang kokoh
sehingga dapat meredam gelombang dan menahan sedimen. Ini artinya dapat
bertindak sebagai pembentuk lahan (land cruiser). Sayangnya
keberadaan hutan mangrove ini sekarang sudah semakin punah karena keberadaan
manusia yang memanfaatkan kayunya sebagai bahan bakar dan bahan bangunan.
3. Kerusakan akibat
gaya-gaya hidrodinamika gelombang
Orientasi pantai yang relatif tegak
lurus atau sejajar dengan puncak gelombang dominan. Hal ini memberikan
informasi bahwa pantai dalam kondisi seimbang dinamik. Kondisi gelombang yang
semula lurus akan membelok akibat proses refrksi/difraksi dan shoaling. Pantai
akan menanggai dengan mengorientasikan dirinya sedemikian rupa sehingga tegak
lurus arah gelombang atau dengan kata lain terjadi erosi dan deposisi sedimen
sampai terjadi keseimbangan dan proses selanjutnya yang terjadi hanya angkutan
tegak lurus pantai (cros shore transport)
4. Kerusakan akibat
sebab alam lain
Perubahan iklim global dan kejadian
ekstrim misal terjadi siklon tropis. Faktor lain adalah kenaikan permukaan air
laut akibat pemanasan global (efek rumah kaca) yang mengakibatkan kenaikan
tinggi gelombang
5. Kerusakan akibat
kegiatan manusia yang lain
- Penambangan Pasir di
perairan pantai
- Pembuatan Bangunan
yang menjorok ke arah laut
-
Pembukaan
tambak yang tidak memperhitungkan keadaan kondisi dan lokasi
Untuk menanggulangi atau mencegah
terjadinya abrasi pantai yaitu :
1.
Pelestarian
terumbu karang
Terumbu karang juga dapat berfungsi
mengurangi kekuatan gelombang yang sampai ke pantai. oleh karena itu perlu
pelestarian terumbu karang dengan membuat peraturan untuk melindungi
habitatnya. ekosistem terumbu karang, padang lamun, mangrove dan vegetasi
pantai lainnya merupakan pertahanan alami yang efektif mereduksi kecepatan dan
energi gelombang laut sehingga dapat mencegah terjadinya abrasi pantai. jika
abrasi pantai terjadi pada pulau-pulau kecil yang berada di laut terbuka, maka
proses penenggelaman pulau akan berlangsung lebih cepat.
2.
Melestarikan
tanaman bakau/mangrove
Fungsi dari tanaman bakau yaitu untuk
memecah gelombang yang menerjang pantai dan memperkokoh daratan pantai, selain
untuk mempertahnakan pantai, mangrove juga berfungsi sebagai tempat
berkembangbiakan ikan dan kepiting.
3.
Melarang
penggalian pasir pantai
Pasir pantai yang terus menerus diambil
akan mengurangi kekuatan pantai.
4.
Sedangkan
pada pantai yang telah atau akan mengalami abrasi, akan dibuatkan pemecah ombak
atau talud untuk mengurangi dampak dari terjangan ombak, tindakan ini sering
juga disebut tindakan pencegahan secara teknis.
upaya untuk meminimalisir resiko
abrasi. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan memperkecil hazard dan
vulnerability atau dengan meningkatkan capacity daerah pesisir. Hazard dari
resiko abrasi sangat susah untuk diperkecil, sementara vulnerability juga tidak
mudah diterapkan di Indonesia. Memperkecil nilai vulnerability ini dilakukan
dengan membatasi atau melarang komunitas untuk beraktivitas dan tinggal di
pesisir. Hal tersebut sangat susah dilakukan karena akan menimbulkan berbagai
macam masalah terutama konflik sosial. Memperbesar nilai capacity merupakan
solusi yang paling realistis untuk mengurangi resiko abrasi di pesisir.
Peningkatan capacity daerah pesisir
untuk mengurangi resiko abrasi harus dilakukan secara komprehensif dan terdapat
konsesi yang kuat antara semua pihak yang berkepentingan. Tanpa adanya itu,
peningkatan capacity tidak dapat dilakukan dengan baik. Cara peningkatan
capacity ini dapat dilakukan dengan adaptasi, mitigasi, dan inovasi sehingga
tercipta daerah pesisir yang tangguh. Dari ketiga cara tersebut, mitigasi
merupakan upaya yang dapat kita kembangkan dan terapkan rekayasanya.
Mitigasi abrasi di daerah pesisir ini
akan dapat meningkatkan capacity dan mengurangi resiko abrasi sehingga akan
tercipta daerah pesisir yang tangguh. Beberapa mitigasi yang dapat dilakukan
antara lain membuat pemecah gelombang dan tanggul di sepanjang pantai, membuat
hutan bakau, membuat rencana tata ruang detail untuk daerah pesisir dan
beberapa cara lain.
Membuat rencana detail tata ruang
daerah pesisir sangat penting untuk mengatur penggunaan lahan, pengelolaan
potensi masalah di daerah pesisir dan mengarahkan pembangunan daerah pesisir.
Rencana detail tata ruang ini digunakan untuk membuat zoning kawasan lindung
dan budidaya. Setiap persil seharusnya ditentukan guna lahan, KDB, KLB, jumlah
lantai agar pembangunan daerah pesisir dapat terarah.
Dalam rencana detail ini juga berisi di
mana akan dibangun pemecah gelombang dan tanggul karena pemecah gelombang ini
dapat menghambat perjalanan ombak ke pantai. Ombak akan terpecah saat melewati
pemecah gelombang sehingga ombak yang mencapai bibir pantai memiliki kekuatan
yang lebih kecil. Selain pemecah gelombang pembangunan tanggul di sepanjang
pantai juga akan mengurangi resiko abrasi. Tanggul dapat menahan air laut
sehingga air laut tidak dapat masuk ke pemukiman penduduk dan memperkuat daya
tahan pinggir pantai. Selain itu dalam rencana detail tata ruang hutan bakau
seharusnya menjadi kewajiban untuk semua daerah pesisir di Indonesia. Tanaman
bakau dapat mengurangi resiko abrasi dan dapat mengurangi resiko intrusi air
laut. Dalam rencana detail dirumuskan pembangunan fisik dan pembangunan sosial
ekonominya. Bagaimana pembangunan sosial ekonomi penduduk pesisir akan
menetukan keberhasilan pembangunan fisik daerah pesisir tersebut. Pembangunan
sosial selain bertujuan membuat keadaan sosial yang lebih manusiawi juga
dibutuhkan agar penduduk pesisir dapat mengelola upaya mitigasi terhadap abrasi.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Indonesia merupakan negara kepulauan
sekaligus termasuk negara meritim yang memiliki potensi sumberdaya laut yang
berlimpah. Akan tetapi di balik kekayaan potensi sumber daya laut tersebut indonesia
mengalami kondisi rawan bencana kelautan karena terletak diantara dua benua dan
dua samudra yang memungkinkan bencana datang secara tiba-tiba. Bencana kelautan
yang terjadi dapat berupa tsunami, gelombang badai, naiknya permukaan laut, el
nino dan la nina, banjir dan abrasi pantai. Ketika bencana ini terjadi tidak
dipungkiri akan merenggut banyak korban jiwa maupun kerugian materi. Olehnya
itu perlu adanya pengetahuan tentang mitigasi bencana khususnya bencana
kelautan, sehingga dapat melakukan tindakan yang tepat sebelum terjadi bencana,
saat terjadi bencana dan setelah terjadi bencana.
4.2. Saran
Bencana merupakan peristiwa yang tidak
dapat kita hindari tapi dapat kita atasi. Untuk mengatasi bencana dibutuhkan
pengetahuan akan tindakan yang tepat yang harus dilakukan. Jadi di harapkan
kepada semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat untuk lebih meningkatkan
pengawasan, kewaspadaan dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana dengan
memiliki pengetahuan tentang mitigasi bencana.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim,
2009. Mengelola Resiko Bencana Di Negara Maritim Indonesia. Institut
Teknologi Bandung. Bandung.
Bakornas
PB, 2002. Pengenalan Karakteristik Bencana Dan Upaya Mitigasinya Di
Indonesia. Badan Kordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (BAKORNAS PB).
Jakarta.
(Diakses pada tanggal 27 Februari 2016)
Indonesia, Undang
Undang Tentang Penanggulangan Bencana. UU No 24 Tahun 2007.
Siregar,
Yusni Ikhwan, dkk. 2015. Menggali Potensi Sumberdaya Laut
Indonesia. Program Studi Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan UR Kampus
Bina Widya Panam. Pekan Baru Riau.
Tahar,
Abdul Muthalib. 2007. Hukum Laut Internasional menurut KHL PBB 1982 dan
perkembangan Hukum Laut di Indonesia. Fakultas Hukum Internasional Bagian
Hukum Internasional. Hlm 1
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar secara bijak sesuai topik pembahasan