BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Mengenal Akad Hawalah |
Al
Hiwalah merupakan sistem yang unik, yang sesuai untuk diadaptasikan kepada
manusia. Hal ini karena al Hiwalah sangat erat hubungannya dengan kehidupan
manusia. Al
hiwalah sering berlaku dalam permasalahan hutang piutang. Maka salah satu cara
untuk menyelesaikan masalah hutang piutang dalam muamalah adalah al hiwalah. Selaim itu, Al Hiwalah juga
digunakan sebagai pemindah dana dari
individu kepada individu yang lain atau syarikat dan firma, sebagai mana telah
digunakan oleh sebagian sistem perbankan.
Oleh karena
itu perlu adanya kajian dan pemahaman lebih mendalam
tentang al Hiwalah yang
berkaitan dengan definisi, dalil, rukun dan syaratnya. Bukan hanya sampai di situ al
Hiwalah juga perlu dikaji dan dipahami di
dalam sistem perbankan dan hal lain yang berkaitan dengan hiwalah. Sehingga, untuk itu penulis membuat dan penyelesaikan
satu makalah yang berkaitan dengan al Hiwalah.
1.2.
Rumusan
Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai
berikut:
1.
Apa dasar hukum, pengertian, jenis, rukun dan syarat hawalah?
2. Bagaimana
unsur kerelaan, beban
muhil setelah Hawalah dan penyebab
berakhirnya Hawalah?
3. Bagaimana
pengaplikasian hawalah dalam perbankan?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. Dasar Hukum, Pengertian, Jenis,
Rukun dan
Syarat Hawalah
2.1.1. Dasar hukum Hawalah
Hawalah
dibolehkan berdasarkan Sunnah dan ijma,
berikut hadits dan ijma yang menjelaskan hal tersebut:
a. Hadits
Imam
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah pernah
bersabda,
مَطْلُ
الْغَنِىِّ ظُلْمٌ فَاِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِىِّ فَلْىَتْبَعْ
Artinya, “menunda pembayaran bagi orang yang
sudah mampu adalah suatu kezaliman. Dan jika salah seorang dari kamu diikutkan
(di-hawalah-kan) kepada orang yang mampu
atau kaya, terimalah hawalah itu.”
Pada
hadits tersebut, Rasulullah memberitahukan kepada
orang yang memberi utang,
jika orang yang berutang menghawalahkan kepada orang yang kaya atau mampu,
hendaklah ia menerima hawalah tersebut dan hendaklah ia menagih pada orang yang
dihawalahkan (muhal ‘alaih). Dengan demikian, haknya dapat terpenuhi.
Sebagian
ulama berpendapat bahwa
perintah untuk menerima Hawalah dalam hadits tersebut menunjukkan wajib. Oleh
sebab itu, wajib bagi yang memberi
utang (muhal) menerima hawalah. Adapun mayoritas ulam
berpendapat bahwa perintah itu menunjukkan Sunnah. Jadi, Sunnah hukumnya
menerima hawalah bagi muhal.
b.
Ijma
Ulama sepakat
membolehkan hawalah. Hawalah di bolehkan pada utang yang tidak berbentuk barang/benda
karena hawalah adalah perpindahan utang. Oleh sebab itu, harus pada uang atau
kewajiban finansial.
2.1.2. Pengertian Hawalah
Secara
bahasa pengalihan hutang dalam hukum islam disebut sebagai hiwalah yang
mempunyai arti lain yaitu Al-intiqal dan Al-tahwil, artinya adalah memindahkan
dan mengalihkan. Penjelasan
yang dimaksud adalah memindahkan hutang dari tanggungan muhil (orang yang
berhutang) menjadi tanggungan muhal'alaih (orang yang melakukan pembayaran
hutang).
Sedangkan
pengertian Hiwalah secara istilah, para Ulama’ berbeda-beda dalam
mendefinisikannya, antara lain sebagai berikut:
Menurut
Hanafi, yang dimaksud hiwalah ialah:
نقل
المطا لبة من دمة المديون إلى دمة الملتزم
Artinya “Memidahkan tagihan dari tanggung jawab
yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab pula”.
Al-jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan Hiwalah adalah:
نقل
الدين من دمة إلى دمة
Artinya “Pemindahan utang dari tanggung jawab
seseorang menjadi tanggung jawab orang lain”.
Syihab
al-din al-qalyubi bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah adalah:
عقد
يقتضى انتقال دين من دمة إلى دمة
Artinya “Akad yang menetapkan pemindahan beban
utang dari seseorang kepada yang lain”.
Jadi,
Al-Hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain
yang wajib menanggungnya. Dalm istilah para ulama, hal ini merupakan pemindahan
beban utang dari muhil (orang yang berutang) menjadi tanggungan muhal ‘alaih
atau orang yang berkewajiban membayar utang.
Secara sederhana, hal
itu dapat dijelaskan bahwa A (muhal) memberi pinjaman kepada B (muhil),
sedangkan B masih mempunyai piutang pada C (muhal ‘alaih). Begitu B tidak mampu
membayar utangnya pada A, ia lalu mengalihkan beban utangnya pada C. Dengan
demikian, C yang harus membayar utang B kepada A, sedangkan utang C sebelumnya
pada B dianggap selesai.
2.1.3. Jenis Hawalah
Mazhab
Hanafi membagi hawalah menjadi beberapa bagian. Ditinjau dari segi obyek akad,
hawalah dapat dibagi dua:
1. Hawalah
Haq
Hawalah
ini adalah pemindahan piutang dari satu piutang kepada piutang yang lain dalam
bentuk uang bukan dalam bentuk barang. Dalam hal ini yang bertindak sebagai
Muhil adalah pemberi utang dan ia mengalihkan haknya kepada pemberi hutang yang
lain sedangkan orang yang berhutang tidak berubah atau berganti, yang berganti
adalah piutang. Ini terjadi jika piutang A mempunyai hutang kepada piutang B.
2. Hawalah
Dayn
Hawalah
ini adalah pemindahan hutang kepada orang lain yang mempunyai hutang kepadanya.
Ini berbeda dari hawalah Haq. Pada hakekatnya hawalah dayn sama pengertiannya
dengan hawalah yang telah diterangkan di depan.
Sedangkan
dari sisi lain Hawalah dapat dibedakan
sebabai berikut:
1. Hawalah
Muthlaqoh terjadi jika orang yang berhutang (orang pertama) kepada orang lain (
orang kedua) mengalihkan hak penagihannya kepada pihak ketiga tanpa didasari
pihak ketiga ini berhutang kepada orang pertama. Jika A berhutang kepada B dan
A mengalihkan hak penagihan B kepada C, sementara C tidak punya hubungan hutang
pituang kepada B, maka hawalah ini disebut Muthlaqoh. Ini hanya dalam madzhab
Hanafi dan Syi’ah sedangkan jumhur ulama mengklasifikasikan jenis hawalah ini
sebagai kafalah.
2. Hawalah Muqoyyadah terjadi jika Muhil
mengalihkan hak penagihan Muhal kepada Muhal Alaih karena yang terakhir punya
hutang kepada Muhal. Inilah hawalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan
para ulama.
Namun, ketiga
madzhab selain madzhab hanafi berpendapat bahwa hanya membolehkan hawalah
muqayyadah dan menyariatkan pada hawalah muqayyadah agar utang muhal kepada
muhil dan utang muhal alaih kepada muhil harus sama, baik sifat maupun
jumlahnya. Jika sudah sama jenis dan jumlahny, maka sahlah hawalahnya. Tetapi
jika salah satunya berbeda, maka hawalah tidak sah.
2.1.4. Rukun Hawalah
Menurut
mazhab Hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan melakukan hiwalah) dari
pihak pertama, dan qabul (penyataan menerima hiwalah) dari pihak kedua dan
pihak ketiga.
Menurut
mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali rukun hiwalah ada enam yaitu:
1. Pihak pertama, muhil (المحيل): Yakni orang yang
berhutang dan sekaligus berpiutang,
2. Pihak
kedua, muhal atau muhtal (المحال او المحتال): Yakni orang berpiutang
kepada muhil.
3. Pihak
ketiga muhal ‘alaih (المحال عليه):
Yakni
orang yang berhutang kepada muhil dan wajib membayar hutang kepada muhtal.
4. Ada
hutang pihak pertama pada pihak kedua,
muhal bih (المحال به): Yakni
hutang muhil kepada muhtal.
5. Ada
hutang pihak ketiga kepada pihak pertama Utang muhal ‘alaih kepada muhil.
6. Ada
sighoh (pernyataan hiwalah).
2.1.5. Syarat
Hawalah
Syarat-syarat
yang diperlukan pihak pertama (al-muhil) adalah :
1. Cakap
melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu baligh dan berakal. Khiwalah
tidak sah bila dilakukan anak-anak meskipun ia sudah mengerti (mumayyiz),
ataupun dilakukan oleh orang gila.
2. Ada
pernyataan persetujuan atau rida. Jika pihak pertama dipaksa untuk melakukan
khiwalah maka akad itu tidak sah. Adapun persyaratan ini berdasarkan
pertimbangan bahwa sebagian orang merasa keberatan dan terhina harga dirinya,
jika kewajibannya untuk membayar utang dialihkan kepada pihak lain.
Syarat-syarat
yang diperlukan oleh pihak kedua (al-muhal) sebagai berikut :
1. Cakap
melakukan tindakan hukum, yaitu baligh dan berakal sebagaimana pihak pertama.
2. Ada
persetujuan pihak kedua terhadap pihak pertama yang melakukan khiwalah.
Persyaratan ini berdasarkan pertimbangan bahwa kebiasaan orang dalam membayar
utang berbeda-beda, ada yang mudah dan ada juga yang sulit membayarnya,
sedangkan menerima pelunasan utang itu merupakan hak pihak kedua.
Syarat-syarat
yang diperlukan oleh pihak ketiga (al-muhal ‘alaih) adalah :
1. Cakap
melakukan tindakan hukum, yaitu baligh dan berakal sebagaimana pihak pertama
dan kedua.
2. Adanya
pernyataan persetujuan dari pihak ketiga (al-muhal ‘alaih). Hal ini diharuskan
karena tindakan khiwalah merupakan tindakan hukum yang melahirkan pemindahan
kewajiban kepada pihak ketuga (al-muhal ‘alaih) untuk membayar utang kepada
pihak kedua (al-muhal), sedangkan kewajiban membayar utang baru dapat
dibebankan kepadanya, apabila ia sendiri yang berutang kepada pihak kedua. Atas
dasar itu, kewajiban itu hanya dapat dibebankan kepadanya, jika ia menyetujui
akad khiwalah.
3. Imam
Abu Hanifah menambahkan syarat bahwa qabul atau pernyataan menerima akad harus
dilakukan dengan sempurna oleh pihak ketiga didalam suatu majelis akad.
Syarat-syarat
yang diperlukan terhadap utang yang dialihkan (al-muhal bih) adalah :
1. Yang
dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk utang piutang yang telah
pasti.
2. Pembayaran
utang itu mesti sama waktu jatuh tempo pembayarannya. Jika terjadi perbedaan
waktu jatuh tempo pembayaran di antara kedua utang itu, maka khiwalah tidak
sah.
3. Utang
pihak pertama kepada pihak kedua maupun utang pihak ketiga kepada pihak kedua
mestilah sama jumlah dan kualitasnya. Jika antara kedua utang itu terdapat
perbedaan jumlah, misalnya utang dalam bentuk uang, atau perbedaan kualitas
misalnya utang dalam bentuk barang, maka khiwalah itu tidak sah.
2.2.
Unsur Kerelaan, Beban Muhil Setelah Hawalah dan
Penyebab
Berakhirnya Hawalah
2.2.1. Unsur kerelaan dalam
Hawalah
a. Kerelaan Muhal
Mayoritas
ulama Hanafiah, Malikiah dan Syafi’iah berpendapat bahwa kerelaan muhal (orang
yang menerima pindahan) adalah hal yang wajib dalam hawalah karena hutang yang
dipindahkan adalah haknya, maka tidak dapat dipindahkan dari tanggungan satu
orang kepada yang lainnya tanpa kerelaannya. Demikian ini karena penyelesaian
tanggungan itu berbeda-beda, bisa mudah, sulit, cepat dan tertunda-tunda.
Hanafilah
berpendapat bahwa jika muhal ‘alaih (orang yang berhutang kepada muhil) itu
mampu membayar tanpa menunda-nunda dan tidak membangkang, muhal (orang yang
menerima pindahan) wajib menerima pemindahan itu dan tidak diisyaratkan adanya
kerelaan darinya. Mereka mendasarkan hal ini kepada hadist yang telah diseutkan
di atas.
Alasan
mayoritas ulama mengenai tidak adanya kewajibanmuhal (orang yang menerima
pindahan) untuk menerima hawalah adalah karena muhal ‘alaih kondisinya
berbeda-beda ada yang mudah membayar dan ada yang menunda-nunda pembayaran.
Dengan demikian, jika muhal ‘alaih mudah dan cepat membayar hutangnya, dapat
dikatakan bahwa muhal wajib menerima hawalah. Namun jika muhal ‘alaih termasuk
orang yang sulit dan suka menunda-nunda memayar hutangnya, semua ulama
berpendapat muhal tidak wajib menerima hawalah.
b. Kerelaan
Muhal ‘Alaih
Mayoritas
ulama Malikiah, Syafi’iah dan Hanabilah berpendapat bahwa tidak ada syarat
kerelaan muhal ‘alaih, ini berdasarkan hadist yang artinya: jika alah seorang
diantara kamu sekalian dipindahkan hutangnya kepada orang kaya, ikutilah
(terimalah). (HR.Bukhari dan Muslim). Di samping itu, hak ada pada muhil dan ia
boleh menerimanya sendiri atau mewakilkan kepada orang lain.
Hanafiah
berpendapat bahwa diisyaratkan adanya kerelaan muhal ‘alaih karena setiap orang
mempunyai sikap yang berbeda dalam menyelesaikan urusan hutang piutangnya, maka
ia tidak wajib dengan sesuatu yang bukan menjadi kewajibannya.
Pendapat yang rajih
(valid) adalah tidak disyaratkan adanya kerelaan muhal ‘alaih. Dan muhal ‘alaih
akan membayar hutangnya dengan jumlah yang sama kepada siapa saja dari
keduanya.
2.2.2.
Beban Muhil setelah Hawalah
Apabila
hawalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil gugur. Andaikata
muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hawalah atau meninggal
dunia, maka muhal tidak boleh kemali lagi kepada muhil, hal ini adalah pendapat
ulama jumhur.
Menurut
madzhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal, ternyata muhal ‘alaih orang
fakir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar, maka muhal boleh
kembali lagi kepada muhil. Menurut imam Malik, orang yang menghawalahkan hutang
kepada orang lain, kemudian muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal
dunia dan ia belum membayar kewajiban, maka muhal tidak boleh kembali kepada
muhil.
Abu
Hanifah, Syarih dan Ustman berpendapat bahwa dalam keadaan muhal ‘alaih
mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, maka orang yang menghutangkan
(muhal) kembali lagi kepada muhil untuk menagihnya.
2.2.3.
Berakhirnya Hawalah
Akad
hawalah akan berakhir oleh hal-hal berikut ini.
1. Karena
dibatalkan atau fasakh. Ini terjadi jika akad hawalah belum dilaksanakan sampai
tahapan akhir lalu difasakh. Dalam keadaan ini hak penagihan dari Muhal akan
kembali lagi kepada Muhil.
2. Hilangnya
hak Muhal Alaih karena meninggal dunia atau bangkrut atau ia mengingkari adanya
akad hawalah sementara Muhal tidak dapat menghadirkan bukti atau saksi.
3. Jika
Muhal alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada Muhal. Ini berarti akad
hawalah benar-benar telah dipenuhi oleh semua pihak.
4. Meninggalnya
Muhal sementara Muhal alaih mewarisi harta hawalah karena pewarisan merupakah
salah satu sebab kepemilikan. Jika akad ini hawalah muqoyyadah, maka
berakhirlah sudah akad hawalah itu menurut madzhab Hanafi.
5. Jika
Muhal menghibahkan atau menyedekahkan harta hawalah kepada Muhal Alaih dan ia
menerima hibah tersebut.
6. Jika
Muhal menghapusbukukan kewajiban membayar hutang kepada Muhal Alaih.
2.3. Aplikasi Hawalah dalam Perbankan
Kontrak
hawalah dalam perbankan biasanya diterapkan pada hal-hal berikut.
a. Factoring
atau anjak piutang, dimana para nasabah yang memiliki piutang kepada pihak
ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, bank lalu membayar piutang tersebut
dan bank menagihnya dari pihak ketiga itu.
b. Post
dated check, dimana bank bertindak sebagai juru tagih, tanpa membayarkan dulu
piutang tersebut.
c. Bill counting. Secara prinsip. Bill counting
serupa dengan hawalah. Hanya saja, dalam bill counting, nasabah harus membayar
fee, sedangkan pembahasan fee tidak termasuk dalam hawalah.
BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
Seperti
diuraikan diatas, akad hawalah dapat memberikan banyak sekali manfaat dan
keuntungan, diantaranya:
1. Memungkinkan
penyelesaian utang dan piutang dengan cepat dan simultan.
2. Tersedianya
talangan dana untuk hibah bagi yang membutuhkan.
3. Dapat
menjafdi salah satu fee-based income/sumber pendapatan non pembiayaan bagi bank
syariah.
Adapun
risiko yang harus diwaspadai dari kontrak hawalah adalah adanya kecurangan
nasabah dengan memberi invoice palsu dan wanprestasi (ingkar janji) untuk
memenuhi kewajiban hawalah ke bank.
3.2.
Saran
Semoga
makalah tentang Pemindahan utang piutang (Hawalah) ini dapat memberikan
manfaat bagi kita dan dapat menambah khazanah keilmuan, khususnya mengenai
bahasan dalam Fiqh Mu’amalah.
Kami
menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam
tulisan maupun penyusunannya, karena selain kami masih dalam tahap belajar,
kami juga manusia biasa yang tidak akan lepas dari salah dan dosa. Oleh karena
itu, kami mengharapkan kritik dan saran konstruktif pembaca demi perbaikan makalah
kami selanjutmya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Rahman ghazaly dkk, fiqh muamalat,
Jakarta, PRENADA MEDIA, 2010,
http://makalahoke.blogspot.co.id/2013/06/makalah-al-hiwalah.html
Moh Rifai , konsep perbankan syariah,
semarang, wicaksana, 2002,
Muhammad
syafii Antonio, bank syariah dari teori ke praktek, jakarta, GEMA INSANI, 2001,
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar secara bijak sesuai topik pembahasan