Mengenal Akad Hawalah - KUMPULAN MATERI DAN TUGAS PERKULIAHAN KEHUTANAN

Latest

Belajar Berkarya Untuk Sesama Sebagai Jalan Memberi Manfaat Bagi Orang Banyak. Blog ini semoga berisi artikel-artikel yang berfaedah buat anda.

Friday, January 3, 2020

Mengenal Akad Hawalah

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.   Latar Belakang 
Mengenal Akad Hawalah dalam Praktek Kehidupan Bermasyarakat
Mengenal Akad Hawalah
Islam adalah agama yang sempurna, dengan demikian Islam telah mengatur cara hidup manusia dengan sistem yang serba lengkap. Salah satu aturan Islam tersebut yaitu bagaimana cara hidup manusia dalam bermuamalah kepada sesama. Di antara muamalat yang telah diterapkan kepada kita ialah Al Hiwalah.
Al Hiwalah merupakan sistem yang unik, yang sesuai untuk diadaptasikan kepada manusia. Hal ini karena al Hiwalah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia. Al hiwalah sering berlaku dalam permasalahan hutang piutang. Maka salah satu cara untuk menyelesaikan masalah hutang piutang dalam muamalah adalah al hiwalah. Selaim itu, Al Hiwalah juga digunakan  sebagai pemindah dana dari individu kepada individu yang lain atau syarikat dan firma, sebagai mana telah digunakan oleh sebagian sistem perbankan.
Oleh karena itu perlu adanya kajian dan pemahaman lebih mendalam tentang al Hiwalah yang berkaitan dengan definisi, dalil, rukun dan syaratnya. Bukan hanya sampai di situ al Hiwalah juga perlu dikaji dan dipahami di dalam sistem perbankan dan hal lain yang berkaitan dengan hiwalah. Sehingga, untuk itu penulis membuat dan penyelesaikan satu makalah yang berkaitan dengan al Hiwalah.
1.2.   Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apa dasar hukum, pengertian, jenis, rukun dan syarat hawalah?
2.      Bagaimana unsur kerelaan, beban muhil setelah Hawalah dan penyebab berakhirnya Hawalah?
3.      Bagaimana pengaplikasian hawalah dalam perbankan?



BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Dasar Hukum, Pengertian, Jenis, Rukun dan Syarat Hawalah
2.1.1. Dasar hukum Hawalah
Hawalah dibolehkan berdasarkan Sunnah dan ijma, berikut hadits dan ijma yang menjelaskan hal tersebut:
a.       Hadits
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah pernah bersabda,
مَطْلُ الْغَنِىِّ ظُلْمٌ فَاِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِىِّ فَلْىَتْبَعْ
Artinya, “menunda pembayaran bagi orang yang sudah mampu adalah suatu kezaliman. Dan jika salah seorang dari kamu diikutkan (di-hawalah-kan) kepada orang yang mampu atau kaya, terimalah hawalah itu.”
Pada hadits tersebut, Rasulullah memberitahukan kepada orang yang memberi utang, jika orang yang berutang menghawalahkan kepada orang yang kaya atau mampu, hendaklah ia menerima hawalah tersebut dan hendaklah ia menagih pada orang yang dihawalahkan (muhal ‘alaih). Dengan demikian, haknya dapat terpenuhi.
Sebagian ulama berpendapat bahwa perintah untuk menerima Hawalah dalam hadits tersebut menunjukkan wajib. Oleh sebab itu, wajib bagi yang memberi utang (muhal) menerima hawalah. Adapun mayoritas ulam berpendapat bahwa perintah itu menunjukkan Sunnah. Jadi, Sunnah hukumnya menerima hawalah bagi muhal.
b.      Ijma
Ulama sepakat membolehkan hawalah. Hawalah di bolehkan pada utang yang tidak berbentuk barang/benda karena hawalah adalah perpindahan utang. Oleh sebab itu, harus pada uang atau kewajiban finansial.
2.1.2. Pengertian Hawalah
Secara bahasa pengalihan hutang dalam hukum islam disebut sebagai hiwalah yang mempunyai arti lain yaitu Al-intiqal dan Al-tahwil, artinya adalah memindahkan dan mengalihkan. Penjelasan yang dimaksud adalah memindahkan hutang dari tanggungan muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal'alaih (orang yang melakukan pembayaran hutang).
Sedangkan pengertian Hiwalah secara istilah, para Ulama’ berbeda-beda dalam mendefinisikannya, antara lain sebagai berikut:
Menurut Hanafi, yang dimaksud hiwalah ialah:
نقل المطا لبة من دمة المديون إلى دمة الملتزم
Artinya “Memidahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab pula”.
 Al-jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah adalah:
نقل الدين من دمة إلى دمة
Artinya “Pemindahan utang dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung jawab orang lain”.
Syihab al-din al-qalyubi bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah adalah:
عقد يقتضى انتقال دين من دمة إلى دمة
Artinya “Akad yang menetapkan pemindahan beban utang dari seseorang kepada yang lain”.
Jadi, Al-Hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalm istilah para ulama, hal ini merupakan pemindahan beban utang dari muhil (orang yang berutang) menjadi tanggungan muhal ‘alaih atau orang yang berkewajiban membayar utang.
Secara sederhana, hal itu dapat dijelaskan bahwa A (muhal) memberi pinjaman kepada B (muhil), sedangkan B masih mempunyai piutang pada C (muhal ‘alaih). Begitu B tidak mampu membayar utangnya pada A, ia lalu mengalihkan beban utangnya pada C. Dengan demikian, C yang harus membayar utang B kepada A, sedangkan utang C sebelumnya pada B dianggap selesai.
2.1.3. Jenis Hawalah
Mazhab Hanafi membagi hawalah menjadi beberapa bagian. Ditinjau dari segi obyek akad, hawalah dapat dibagi dua:
1.      Hawalah Haq
Hawalah ini adalah pemindahan piutang dari satu piutang kepada piutang yang lain dalam bentuk uang bukan dalam bentuk barang. Dalam hal ini yang bertindak sebagai Muhil adalah pemberi utang dan ia mengalihkan haknya kepada pemberi hutang yang lain sedangkan orang yang berhutang tidak berubah atau berganti, yang berganti adalah piutang. Ini terjadi jika piutang A mempunyai hutang kepada piutang B.
2.      Hawalah Dayn
Hawalah ini adalah pemindahan hutang kepada orang lain yang mempunyai hutang kepadanya. Ini berbeda dari hawalah Haq. Pada hakekatnya hawalah dayn sama pengertiannya dengan hawalah yang telah diterangkan di depan.
Sedangkan dari sisi lain Hawalah dapat dibedakan sebabai berikut:
1.      Hawalah Muthlaqoh terjadi jika orang yang berhutang (orang pertama) kepada orang lain ( orang kedua) mengalihkan hak penagihannya kepada pihak ketiga tanpa didasari pihak ketiga ini berhutang kepada orang pertama. Jika A berhutang kepada B dan A mengalihkan hak penagihan B kepada C, sementara C tidak punya hubungan hutang pituang kepada B, maka hawalah ini disebut Muthlaqoh. Ini hanya dalam madzhab Hanafi dan Syi’ah sedangkan jumhur ulama mengklasifikasikan jenis hawalah ini sebagai kafalah.
2.       Hawalah Muqoyyadah terjadi jika Muhil mengalihkan hak penagihan Muhal kepada Muhal Alaih karena yang terakhir punya hutang kepada Muhal. Inilah hawalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama.
Namun, ketiga madzhab selain madzhab hanafi berpendapat bahwa hanya membolehkan hawalah muqayyadah dan menyariatkan pada hawalah muqayyadah agar utang muhal kepada muhil dan utang muhal alaih kepada muhil harus sama, baik sifat maupun jumlahnya. Jika sudah sama jenis dan jumlahny, maka sahlah hawalahnya. Tetapi jika salah satunya berbeda, maka hawalah tidak sah.
2.1.4. Rukun Hawalah
Menurut mazhab Hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan melakukan hiwalah) dari pihak pertama, dan qabul (penyataan menerima hiwalah) dari pihak kedua dan pihak ketiga.
Menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali rukun hiwalah ada enam yaitu:
1.       Pihak pertama, muhil (المحيل): Yakni orang yang berhutang dan sekaligus berpiutang,
2.      Pihak kedua, muhal atau muhtal (المحال او المحتال): Yakni orang berpiutang kepada muhil.
3.      Pihak ketiga muhal ‘alaih (المحال عليه): Yakni orang yang berhutang kepada muhil dan wajib membayar hutang kepada muhtal.
4.      Ada hutang  pihak pertama pada pihak kedua, muhal bih (المحال به): Yakni hutang muhil kepada muhtal.
5.      Ada hutang pihak ketiga kepada pihak pertama Utang muhal ‘alaih kepada muhil.
6.      Ada sighoh (pernyataan hiwalah).
2.1.5.  Syarat Hawalah
Syarat-syarat yang diperlukan pihak pertama (al-muhil) adalah :
1.      Cakap melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu baligh dan berakal. Khiwalah tidak sah bila dilakukan anak-anak meskipun ia sudah mengerti (mumayyiz), ataupun dilakukan oleh orang gila.
2.      Ada pernyataan persetujuan atau rida. Jika pihak pertama dipaksa untuk melakukan khiwalah maka akad itu tidak sah. Adapun persyaratan ini berdasarkan pertimbangan bahwa sebagian orang merasa keberatan dan terhina harga dirinya, jika kewajibannya untuk membayar utang dialihkan kepada pihak lain.
Syarat-syarat yang diperlukan oleh pihak kedua (al-muhal) sebagai berikut :
1.      Cakap melakukan tindakan hukum, yaitu baligh dan berakal sebagaimana pihak pertama.
2.      Ada persetujuan pihak kedua terhadap pihak pertama yang melakukan khiwalah. Persyaratan ini berdasarkan pertimbangan bahwa kebiasaan orang dalam membayar utang berbeda-beda, ada yang mudah dan ada juga yang sulit membayarnya, sedangkan menerima pelunasan utang itu merupakan hak pihak kedua.
Syarat-syarat yang diperlukan oleh pihak ketiga (al-muhal ‘alaih) adalah :
1.      Cakap melakukan tindakan hukum, yaitu baligh dan berakal sebagaimana pihak pertama dan kedua.
2.      Adanya pernyataan persetujuan dari pihak ketiga (al-muhal ‘alaih). Hal ini diharuskan karena tindakan khiwalah merupakan tindakan hukum yang melahirkan pemindahan kewajiban kepada pihak ketuga (al-muhal ‘alaih) untuk membayar utang kepada pihak kedua (al-muhal), sedangkan kewajiban membayar utang baru dapat dibebankan kepadanya, apabila ia sendiri yang berutang kepada pihak kedua. Atas dasar itu, kewajiban itu hanya dapat dibebankan kepadanya, jika ia menyetujui akad khiwalah.
3.      Imam Abu Hanifah menambahkan syarat bahwa qabul atau pernyataan menerima akad harus dilakukan dengan sempurna oleh pihak ketiga didalam suatu majelis akad.
Syarat-syarat yang diperlukan terhadap utang yang dialihkan (al-muhal bih) adalah :
1.      Yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk utang piutang yang telah pasti.
2.      Pembayaran utang itu mesti sama waktu jatuh tempo pembayarannya. Jika terjadi perbedaan waktu jatuh tempo pembayaran di antara kedua utang itu, maka khiwalah tidak sah.
3.      Utang pihak pertama kepada pihak kedua maupun utang pihak ketiga kepada pihak kedua mestilah sama jumlah dan kualitasnya. Jika antara kedua utang itu terdapat perbedaan jumlah, misalnya utang dalam bentuk uang, atau perbedaan kualitas misalnya utang dalam bentuk barang, maka khiwalah itu tidak sah.

2.2.   Unsur Kerelaan, Beban Muhil Setelah Hawalah dan Penyebab Berakhirnya Hawalah

2.2.1. Unsur kerelaan dalam Hawalah
a. Kerelaan Muhal
Mayoritas ulama Hanafiah, Malikiah dan Syafi’iah berpendapat bahwa kerelaan muhal (orang yang menerima pindahan) adalah hal yang wajib dalam hawalah karena hutang yang dipindahkan adalah haknya, maka tidak dapat dipindahkan dari tanggungan satu orang kepada yang lainnya tanpa kerelaannya. Demikian ini karena penyelesaian tanggungan itu berbeda-beda, bisa mudah, sulit, cepat dan tertunda-tunda.
Hanafilah berpendapat bahwa jika muhal ‘alaih (orang yang berhutang kepada muhil) itu mampu membayar tanpa menunda-nunda dan tidak membangkang, muhal (orang yang menerima pindahan) wajib menerima pemindahan itu dan tidak diisyaratkan adanya kerelaan darinya. Mereka mendasarkan hal ini kepada hadist yang telah diseutkan di atas.
Alasan mayoritas ulama mengenai tidak adanya kewajibanmuhal (orang yang menerima pindahan) untuk menerima hawalah adalah karena muhal ‘alaih kondisinya berbeda-beda ada yang mudah membayar dan ada yang menunda-nunda pembayaran. Dengan demikian, jika muhal ‘alaih mudah dan cepat membayar hutangnya, dapat dikatakan bahwa muhal wajib menerima hawalah. Namun jika muhal ‘alaih termasuk orang yang sulit dan suka menunda-nunda memayar hutangnya, semua ulama berpendapat muhal tidak wajib menerima hawalah.
b.      Kerelaan Muhal ‘Alaih
Mayoritas ulama Malikiah, Syafi’iah dan Hanabilah berpendapat bahwa tidak ada syarat kerelaan muhal ‘alaih, ini berdasarkan hadist yang artinya: jika alah seorang diantara kamu sekalian dipindahkan hutangnya kepada orang kaya, ikutilah (terimalah). (HR.Bukhari dan Muslim). Di samping itu, hak ada pada muhil dan ia boleh menerimanya sendiri atau mewakilkan kepada orang lain.
Hanafiah berpendapat bahwa diisyaratkan adanya kerelaan muhal ‘alaih karena setiap orang mempunyai sikap yang berbeda dalam menyelesaikan urusan hutang piutangnya, maka ia tidak wajib dengan sesuatu yang bukan menjadi kewajibannya.
Pendapat yang rajih (valid) adalah tidak disyaratkan adanya kerelaan muhal ‘alaih. Dan muhal ‘alaih akan membayar hutangnya dengan jumlah yang sama kepada siapa saja dari keduanya.
2.2.2.   Beban Muhil setelah Hawalah
Apabila hawalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil gugur. Andaikata muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hawalah atau meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kemali lagi kepada muhil, hal ini adalah pendapat ulama jumhur.
Menurut madzhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal, ternyata muhal ‘alaih orang fakir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar, maka muhal boleh kembali lagi kepada muhil. Menurut imam Malik, orang yang menghawalahkan hutang kepada orang lain, kemudian muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia belum membayar kewajiban, maka muhal tidak boleh kembali kepada muhil.
Abu Hanifah, Syarih dan Ustman berpendapat bahwa dalam keadaan muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, maka orang yang menghutangkan (muhal) kembali lagi kepada muhil untuk menagihnya.
2.2.3.   Berakhirnya Hawalah
Akad hawalah akan berakhir oleh hal-hal berikut ini.
1.      Karena dibatalkan atau fasakh. Ini terjadi jika akad hawalah belum dilaksanakan sampai tahapan akhir lalu difasakh. Dalam keadaan ini hak penagihan dari Muhal akan kembali lagi kepada Muhil.
2.      Hilangnya hak Muhal Alaih karena meninggal dunia atau bangkrut atau ia mengingkari adanya akad hawalah sementara Muhal tidak dapat menghadirkan bukti atau saksi.
3.      Jika Muhal alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada Muhal. Ini berarti akad hawalah benar-benar telah dipenuhi oleh semua pihak.
4.      Meninggalnya Muhal sementara Muhal alaih mewarisi harta hawalah karena pewarisan merupakah salah satu sebab kepemilikan. Jika akad ini hawalah muqoyyadah, maka berakhirlah sudah akad hawalah itu menurut madzhab Hanafi.
5.      Jika Muhal menghibahkan atau menyedekahkan harta hawalah kepada Muhal Alaih dan ia menerima hibah tersebut.
6.      Jika Muhal menghapusbukukan kewajiban membayar hutang kepada Muhal Alaih.
2.3. Aplikasi Hawalah dalam Perbankan
Kontrak hawalah dalam perbankan biasanya diterapkan pada hal-hal berikut.
a.       Factoring atau anjak piutang, dimana para nasabah yang memiliki piutang kepada pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, bank lalu membayar piutang tersebut dan bank menagihnya dari pihak ketiga itu.
b.      Post dated check, dimana bank bertindak sebagai juru tagih, tanpa membayarkan dulu piutang tersebut.
c.        Bill counting. Secara prinsip. Bill counting serupa dengan hawalah. Hanya saja, dalam bill counting, nasabah harus membayar fee, sedangkan pembahasan fee tidak termasuk dalam hawalah.


BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
Seperti diuraikan diatas, akad hawalah dapat memberikan banyak sekali manfaat dan keuntungan, diantaranya:
1.      Memungkinkan penyelesaian utang dan piutang dengan cepat dan simultan.
2.      Tersedianya talangan dana untuk hibah bagi yang membutuhkan.
3.      Dapat menjafdi salah satu fee-based income/sumber pendapatan non pembiayaan bagi bank syariah.
Adapun risiko yang harus diwaspadai dari kontrak hawalah adalah adanya kecurangan nasabah dengan memberi invoice palsu dan wanprestasi (ingkar janji) untuk memenuhi kewajiban hawalah ke bank.
3.2. Saran
Semoga makalah tentang Pemindahan utang piutang (Hawalah) ini dapat  memberikan manfaat bagi kita dan dapat menambah khazanah keilmuan, khususnya mengenai bahasan dalam Fiqh Mu’amalah. Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam tulisan maupun penyusunannya, karena selain kami masih dalam tahap belajar, kami juga manusia biasa yang tidak akan lepas dari salah dan dosa. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran konstruktif pembaca demi perbaikan makalah kami selanjutmya.


DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rahman ghazaly dkk, fiqh muamalat, Jakarta, PRENADA MEDIA, 2010,
http://makalahoke.blogspot.co.id/2013/06/makalah-al-hiwalah.html
Moh Rifai , konsep perbankan syariah, semarang, wicaksana, 2002,
Muhammad syafii Antonio, bank syariah dari teori ke praktek, jakarta, GEMA INSANI, 2001,


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar secara bijak sesuai topik pembahasan